Pilkada Serentak 2020
Pendapat Pengamat Politik terkait Fenomana 'Kutu Loncat' jelang Pilkada Serentak 2020
Praktik 'pembajakan' kader jelang pemilihan kepala daerah seharusnya tidak dilakukan partai politik.
Penulis: Bobby Constantine Koloway | Editor: Parmin
SURYA.co.id | SURABAYA - Praktik 'pembajakan' kader jelang pemilihan kepala daerah seharusnya tidak dilakukan partai politik. Sebab, selain mengganggu mekanisme pengaderan partai, hal tersebut juga akan semakin mengurangi kepercayaan masyarakat (konstituen) terhadap parpol.
"Kami melihatnya tidak elok. Sebab, salah satu fungsi parpol adalah pengaderan. Kalau kemudian saling membajak, ini akan menjadi efek negatif bagi parpol sendiri," kata Pengamat politik Surabaya Survei Centre (SSC), Surokim Abdussalam kepada Surya.co.id, Rabu (19/2/2020).
Proses pembajakan partai menunjukkan sikap pragmatis partai. "Partai seringkali hanya memikirkan, yo opo carane kudu menang. Nah, partai seringkali mengabaikan mekanisme pengaderan yang elegan," katanya.
Tak sekadar menang di pilkada, ada efek ikutan yang juga biasanya menjadi target jangka panjang sebuah partai berobsesi memiliki kader seorang kepala daerah. Di antaranya, memenangkan pemilihan legislatif.
"Faktanya begitu. Kepala daerah powernya begitu luar biasa dan menjadi jaminan eksistensi sebuah partai di daerah. Kepala daerah menjadi tokoh sentral untuk menjamin eksistensi partai," urainya.
Misalnya, dengan adanya akses birokrasi, jaringan, hingga kepastian logistik. "Ini menjadi tradisi partai yang menjadikan kepala daerah sebagai aset penting seebuah partai," terangnya.
Selain sikap pragmatis partai, praktik ini juga sekaligus bisa sebagai bentuk balas dendam. "Bajak-membajak partai ini menyakitkan bagi partai asal. Sehingga, partai akan saling balas di masa pilkada berikutnya atau daerah lainnya," terangnya.
Surokim juga menyoroti kader yang seringkali berpindah partai. "Kader sering tak sabar atau tak yakin akan menang di pilkada kalau diusung partai asal di pilkada. Sehingga, loyalitas ini yang sedang diuji," kata pria yang juga dosen pengajar di Universitas Trunojoyo Madura (UTM) ini.
Di sisi lain, masyarakat sebagai konstituen akan ikut terdampak. Akibatnya, masyarakat tak lagi percaya dengan partai politik.
"Masyarakat belajar dari waktu ke waktu, pemilu ke pemilu. Fenomena kucu loncat ini juga mendapat tanggapan kritis dari masyarakat," katanya.
"Masyarakat justru menilai partai tak lagi penting. Padahal, di dalam proses berdemokrasi, penguatan partai itu penting. Inilah salah satu efek buruknya dari perpindahan kader secara mendadak," pungkasnya.