Berita Surabaya
FPL Desak Percepatan Pengesahan RUU PKS, Ini Alasannya
Forum Pengada Layanan (FPL) mendesak DPR RI untuk segera mengesahkan RUU PKS pada 2020 mendatang
Penulis: Bobby Constantine Koloway | Editor: irwan sy
SURYA.co.id | SURABAYA - Forum Pengada Layanan (FPL) mendesak DPR RI untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) pada 2020 mendatang. FPL menilai hal ini sebagai komitmen pemerintah dalam hal perlindungan perempuan.
Dewan Pembina Nasional FPL, Nunuk Fauziyah mencatat jumlah kasus kekerasan seksual di 2018 secara nasional mencapai 1290 kasus kekerasan seksual.
"Jumlah tersebut merupakan akumulasi dari sembilan bentuk kekerasan seksual," kata Nunuk pada acara diskusi bertajuk "Menagih Komitmen Negara dalam Perlindungan Korban Kekerasan dengan Disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual", Kamis (19/12/2019) di Surabaya.
Dua tertinggi bentuk kekerasan seksual di antaranya adalah perkosaan (846 kasus) dan pelecehan seksual (331 kasus), sisanya ada berupa pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, hingga pemaksaan perkawinan.
Selain jumlah kasus, data dari Komnas Perempuan memperlihatkan selama tiga tahun terakhir (2016-2018) angka korban perempuan dengan jumlah fantastis. Komnas Perempuan menyebut sebanyak 16.943 perempuan menjadi korban kekerasan seksual.
Dari jumlah tersebut, FPL menyebut hanya 40 persen kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke polisi.
"Ironisnya, dari laporan tersebut, hanya 10-15 persen yang berlanjut ke pengadilan," ungkap Nunuk.
Nunuk menjelaskan bahwa tak adanya payung hukum menjadi alasan sulitnya kasus kekerasan seksual berlanjut ke meja hijau.
"KUHP baik aturan materiil maupun formil terbatas. Sehingga, 90 persen dari kasus kekerasan seksual tidak dapat diteruskan ke pengadilan," katanya.
Oleh karena itu, pihaknya mendorong DPR untuk segera mengesahkan RUU-PKS. Di dalam RUU-PKS, akan mengatur sembilan jenis kekerasan seksual, yakni, pelecehan seksual, eksploitasi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan, perbudakan dan/atau penyiksaan seksual.
"Aturan sembilan bentuk pelecehan seksual ini perlu untuk memberikan payung hukum terhadap kasus kekerasan seksual," tegasnya.
Di dalam RUU tersebut, juga memuat hukum acara yang dapat membantu penegak hukum membuktikan kekerasan seksual.
"Juga, melindungi hak-hak korban dan keluarganya serta mengatur pencegahan kekerasan seksual," katanya.
Atas dasar alasan tersebut, pihaknya mendesak DPR segera mengesahkan RUU tersebut.
"Penundaan pengesahan RUU PKS semakin menjauhkan korban dari pemenuhan keadilan," terangnya.
Tak hanya melalui informal, pihaknya juga berupaya melakukan lobi politik kepada partai di DPR.
"Kami akan terus yakinkan kepada pihak partai. Ini bukan untuk golongan tertentu, namun demi semua korban pelecehan seksual," tegas Siti Masdafiyah, Direktur Savy Amira Surabaya yang juga berada di tempat yang sama.
Pihaknya juga menegaskan untuk tak menghubungkan RUU tersebut dengan paham-paham lain, misalnya paham liberal.
"Tak ada hubungannya dengan itu. Tolong bersikap terbuka dan mendengar keluhan korban selama ini," tegas Palupi Pusporini, Direktur WCC Jombang yang turut hadir pada acara tersebut.