Kilas Balik

Pengakuan Begal Sadis yang Pernah Diburu ABRI di Era Soeharto, Menyaksikan Proses Eksekusi Rekannya

Seorang mantan begal sadis sempat menceritakan bagaimana ia diburu oleh pasukan ABRI di era Soeharto, begini pengakuannya

Kolase Tribunnews dan Pos Kupang
Ilustrasi: Pengakuan Begal Sadis yang Pernah Diburu ABRI di Era Soeharto, Menyaksikan Proses Eksekusi Rekannya 

SURYA.co.id - Seorang mantan begal sadis sempat menceritakan bagaimana ia diburu oleh pasukan ABRI di era Soeharto

Bahkan, mantan begal sadis bernama Bathi Mulyono itu juga menceritakan pengalamannya melihat rekan-rekannya dieksekusi saat itu

Cerita Bathi ini tercantum dalam buku berjudul 'Benny Moerdani Yang Belum Terungkap', Tempo, PT Gramedia 2015

Bathi merupakan mantan begal sadis yang saat itu terus diburu oleh pasukan ABRI dalam Operasi Pemberantasan Keamanan (OPK)

Karena terus diburu, Bathi memutuskan menyelematkan diri dan bersembunyi di kawasan Gunung Lawu hingga pertengahan 1984.

Ilustrasi
Ilustrasi (Grid.id)

Suatu kali karena ada keperluan, Bathi turun gunung melalui Blora dan bermaksud ke Rembang.

Sewaktu Bathi hendak balik lagi ke Blora, hari sudah pukul 21.00 WIB dan sama sekali tidak ada angkutan umum.

Lalu Bathi memutuskan untuk menumpang kendaraan pengangkut sayur

Karena biasanya kendaraan seperti itu memang mau membawa warga yang sudah kemalaman di jalan.

Jalur antara Rembang-Blora banyak melintasi hutan-hutan jati yang sepi dan makin malam kendaraan yang melintas juga sangat jarang.

Ketika ada mobil pick up yang dikiranya pengangkut sayur melintas, Bathi segera menyetopnya dan naik di bak mobil

Bathi terkejut karena beberapa orang di dalam bak mobil membawa senjata laras panjang dan pistol jenis FN yang biasa digunakan tentara.

Tapi yang membuat Bathi lebih terkejut, salah seorang bersenjata itu tiba-tiba menegurnya untuk tidak menduduki karung karena berisi manusia.

Bathi kaget dan jantungnya berdetak kencang ternyata karung-karung itu berisi rekan-rekannya sesama begal yang akan dieksekusi.

Bathi yang menyadari dirinya sedang berada di tengah tim OPK berusaha bersikap tenang.

Untung saja wajahnya tegangnya tersamar oleh gelapnya malam yang tanpa terang bulan itu.

Sepanjang perjalanan Rembang-Blora di tengah hutan jati yang sepi sejumlah karung diturunkan lalu dihujani tembakan dan karung yang bersimbah darah digelundungkan ke hutan.

Karung-karung berisi para begal itu terus diturunkan pada jarak tertentu lalu ditembak dan kemudian di lempar ke dalam hutan.

Bathi cepat-cepat turun di sebuah warung di pinggir jalan karena mobil pick up pengangkut sayur itu ternyata tidak ke Blora.

Sekadar informasi, saat itu Presiden Soeharto memang menerapkan langkah yang cukup ekstrim untuk menumpas para pelaku kejahatan begal yang marak terjadi.

Tak tanggung-tanggung, Soeharto mengerahkan pasukan ABRI yang kala itu terdiri dari unsur TNI dan Polri.

Melansir dari Intisari dalam artikel 'Bahkan Ribuan Penjahat Ditangkapnya, Begini Mengerikannya Penumpasan Kejahatan di Zaman Orba, Mayat Begal Dibiarkan di Pinggir Jalan', hal ini berawal saat aparat keamanan sedang dibuat geram oleh maraknya aksi begal di tahun 1980an.

Para begal yang menamakan diri mereka sebagai gabungan anak liar (gali), cukup menganggu roda perekonomian negara kala itu.

Contohnya, kawasan terminal yang sudah dikuasai para gali membuat para penguasaha bus mengalami kerugian, karena banyaknya begal yang membajak bus dan truk di jalanan.

Ilustrasi: Langkah Ekstrim Soeharto Kerahkan Pasukan ABRI Tumpas Begal Sadis, Mayat Tergeletak Dimana-mana
Ilustrasi: Langkah Ekstrim Soeharto Kerahkan Pasukan ABRI Tumpas Begal Sadis, Mayat Tergeletak Dimana-mana (anton-djakarta.blogspot.com vis Pos Kupang)

Terinspirasi dari prestasi Polda Metro, Soeharto lalu memerintahkan untuk menerjunkan tim khusus dari ABRI yang terdiri dari TNI dan Polri

Mereka bertugas untuk melaksanakan operasi penumpasan kejahatan terhadap para begal yang makin marak dan sadis.

Hingga tahun 1982, Polri di bawah pimpinan Kapolri Jenderal Awaloedin Djamin telah melakukan berbagai operasi penumpasan kejahatan.

Misalnya saja Operasi Sikat, Linggis, Operasi Pukat, Operasi Rajawali, Operasi Cerah, dan Operasi Parkit di seluruh wilayah Indonesia serta berhasil menangkap 1.946 begal.

Meski sudah banyak begal yang diringkus, operasi penumpasan kejahatan terus berlanjut seperti yang dilaksanakan oleh Komando Daerah Militer (Kodim) 0734 Yogyakarta di bawah pimpinan Kolonel Muhamad Hasbi.

Tahun 1983, Kolonel Hasbi menyatakan perang terhadap para begal.

Hal itu lantaran ulah mereka yang makin meresahkan masyarakat Yogyakarta .

Kolonel Hasbi pun menggelar Operasi Pemberantasan Keamanan (OPK) bekerja sama dengan intelijen TNI AD, TNI AU, TNI AL dan kepolisian.

Kodim Yogyakarta lalu melakukan pendataan terhadap para begal melalui operasi intelijen.

Kemudian para begal yang berhasil didata diwajibkan melapor serta diberi kartu khusus.

Setelah mendapat kartu, para begal tersebut dilarang bikin ulah lagi.

Tak hanya itu, mereka juga harus mau memberitahukan lokasi begal lainnya yang kerap melakukan kejahatan dan tidak mau melapor.

Para begal yang tidak melapor kemudian diburu oleh tim OPK Kodim untuk ditangkap dan bagi yang lari atau melawan akan langsung ditembak.

Mayat para begal yang ditembak dibiarkan tergeletak di mana saja dengan tujuan membuat jera (shock therapy) para gali lainnya.

Setiap ada mayat yang ditemukan di pinggir jalan, tepi hutan, bawah jembatan, dan lainnya, apalagi dengan luka tembak, kerap dinamai sebagai korban penembakan misterius (petrus)

Yang kemudian istilah 'petrus' itu menjadi sangat populer sekaligus menakutkan di zaman itu.

Cara penanganan begal dengan cara OPK pun diterapkan di berbagai wilayah di Indonesia dan korban 'petrus' pun bertumbangan di mana-mana.

Terkait OPK yang sukses di era Orde Baru, Presiden Soeharto dalam buku otobiografinya bertajuk Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, menyebut 'petrus' ditujukan untuk menimbulkan efek jera kepada para penjahat.

"Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu itu bukan lantas dengan tembakan, begitu saja.

Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak," ujarnya dalam buku yang terbit pada 1989 itu.

Pemerintah kesulitan mengusut kasus Petrus

Seperti diketahui, kasus petrus yang terjadi pada rentang waktu 1982 hingga 1985 memang merupakan kasus pelanggaran HAM berat

Korban petrus adalah preman kelas teri atau mereka yang melawan kekuasaan Orde Baru, residivis atau mantan narapidana, dan orang yang diadukan sebagai penjahat.

Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM, kasus petrus berlangsung secara sistematis dan meluas.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto mengungkapkan, pemerintah berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu seperti kasus Petrus.

Meski demikian, ia mengakui, sulit bagi pemerintah untuk menuntaskan kasus melalui mekanisme pengadilan atau yudisial.

Sebagian Publik Dinilai Tak Simpatik atas Peristiwa Penusukan Wiranto, Psikolog: Erat dengan Politik
Sebagian Publik Dinilai Tak Simpatik atas Peristiwa Penusukan Wiranto, Psikolog: Erat dengan Politik (Tribunnews/Lendy Ramadhan)

Menurut Wiranto, berkas hasil penyelidikan atas beberapa kasus oleh Komnas HAM tidak dapat diteruskan ke tahap penyidikan di Kejaksaan Agung karena kurangnya alat bukti.

"Di sini saya perlu laporkan, tidak mudah memang dengan adanya desakan untuk menyelesaikan sisa-sisa pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum terselesaikan baik secara nasional maupun di Papua.

Mengapa? karena memang buktinya susah," ujar Wiranto, Rabu (5/9/2018), dilansir dari Kompas.com dalam artikel 'Wiranto: Tidak Mudah Menuntaskan Kasus Penembakan Misterius 1982'

Ia mencontohkan salah satu kasus yang saat ini ditangani oleh Komnas HAM, yakni kasus penembakan misterius (petrus) pada 1982.

Wiranto mengatakan, sulit untuk menemukan bukti maupun saksi dalam kasus petrus sebab orang yang memerintahkan penembakan dan pelaku penembakan sudah meninggal dunia.

Meski demikian, kata mantan Panglima ABRI itu, pemerintah tetap berkomitmen untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui mekanisme di luar pengadilan atau non-yudisial.

"Misalnya yang paling gampang bagaimana kita menyelesaikan pelanggaran HAM di tahun 1982, yakni pembunuhan misterius, petrus.

Yang memerintahkan sudah wafat, yang diperintahkan sudah mati, yang dibunuh sudah mati.

Saya tanya ini cari saksinya bagaimana? Kami suruh menyelesaikan bagaimana," kata Wiranto.

"Kemudian kami mengusulkan tidak usah yudisial, non-yudisial saja. Kan begitu.

Wadahnya bagaimana? Nanti akan saya jelaskan. Wadahnya tentunya akan kami siapkan," ujar dia

Sumber: Grid.ID
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved