Kilas Balik
Nasib Tragis Perwira Tinggi TNI AU Omar Dhani, Kariernya Moncer Tapi Dipenjara kerena Dianggap PKI
Nasib Tragis Perwira Tinggi TNI AU Omar Dhani, Kariernya Moncer Tapi Dipenjara kerena Dianggap PKI. Simak kisahnya
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Musahadah
SURYA.co.id - Nasib tragis dialami oleh seorang perwira tinggi TNI AU, Marsekal Madya Udara TNI Omar Dhani
Meski kariernya moncer dan banyak berjasa bagi AURI (sekarang TNI AU), tapi perwira tinggi TNI AU ini dipenjara karena dianggap sebagai PKI
Hal ini juga tak lepas dari keloyalannya dengan Soekarno kala itu
Dilansir dari sosok.id dalam artikel 'Omar Dhani, Membawa TNI AU Terkuat di Belahan Selatan Dunia, Namun Runtuh Karena Kecurigaan', Omar Dhani lahir di Vorstenlanden (Kota Solo), tepatnya pada 23 Januari 1924
Ia merupakan anak dari KRT Reksonegoro, Asisten Wedana Gondangwinangun Klaten.
Omar menjadi salah satu prajurit cemerlang yang dimiliki AURI (sekarang TNI AU) kala itu.

Sejalan dengan pendahulunya, Halim Perdanakusuma, Omar Dhani punya cerita yang hampir sama, ia lulusan terbaik Royal Air Force Staff College di Andover Inggris pada 1956.
Masa kecil Omar Dhani menempuh studi di Hollandsche Inlandsche School (HIS) Klaten, lanjutkan studi di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Solo, Omar Dhani remaja masuk ke Algemeene Middlebare School (AMS) Yogyakarta tahun 1942.
Omar Dhani lulus studi ketika situasi Indonesia yang baru seumur jagung itu bergejolak, mengawali menjadi seorang penyiar radio RRI, Omar Dhani remaja pernah menjadi Informan bagi Markas Besar Tentara di Jakarta.
Ia juga tercatat pernah bekerja di Dinas Penerangan lalu lanjut bekerja di Javanesche Bank, namun tak lama ia keluar.
Tahun 1950 AURI (sebelum TNI AU) membuka pendaftaran dan Omar Dhani pun mendaftar menjadi anggota AURI.
Waktu itu ia berusia 26 tahun.
Tak lama kemudian pada November 1950, sekitar 60 Penerbang AU termasuk Omar Dhani dikirim untuk belajar di Academy of Aeronautics, TALOA (Trans Ocean Airline Oakland Airport) di California.
Setelah menyelesaikan segala jenis studi kedirgantaraan di luar negeri, seperti yang pernah ditulis oleh Asvi Warman Adam, hanya dalam 9,5 tahun masa abdi di AU, ia sudah menduduki posisi Menteri/Kepala Staff Angkatan Udara pada 19 Januari 1962.
Dimasa kepemimpinan Omar Dhani, AURI pernah menjadi satuan terkuat di Belahan Dunia Selatan.
Menurut catatan Tomi Lebang dalam "Sahabat Lama Era Baru: 60 Tahun Pasang Surut Hubungan Indonesia-Rusia (2010: 102-103)“, Angkatan Udara mendapat pesawat-pesawat MIG-21, Ilyusin-28, TU-16 (Tupolev), dan pesawat angkut Antonov beserta 3 satuan pertahanan udara lengkap dengan roket dan radarnya.
AU pada masa pembebasan Irian Barat pernah mendapatkan 50 (pesawat) pemburu jet, 20 pesawat angkut dan pesawat pembom jenis Tupolev TU-16.
Namun kegemilangan kedirgantaraan TNI AU dibawah Omar Dhani runtuh berkeping-keping.
Hal ini karena keloyalannya terhadap Presiden Soekarno dan juga dianggap memiliki hubungan dekat dengan PKI.
Nama Omar Dhani terseret dianggap menjadi salah satu dalang dari pemberontakan PKI
Omar Dhani divonis bersalah karena dianggap terlibat dalam penculikan tujuh jendral pada masa itu.
Semua pangkat dan kecemerlangannya pada masa memimpin AURI seketika sirna.
Bahkan ketika 14 tahun bebas dari penjara pada tahun 2009, tak ada penghormatan ala militer yang mengantarkannya dikebumikan, seperti dilansir dari Kompas.com.
Kisah tragis Omar Dhani dan kecemerlangannya di TNI AU kemudian ikut terkubur bersama jasadnya pada 4 Juli 2009
Jenderal TNI Ahmad Yani Bersimbah Darah
Berbicara tentang pemberontakan PKI tak lepas dari tujuh jenderal yang menjadi korban kala itu.
Salah satunya adalah jenderal TNI Ahmad Yani
Jenderal TNI Ahmad Yani sempat berdebat sengit saat rumahnya dikepung tentara yang ternyata antek PKI
Namun, perdebatan itu justru membuat sang jenderal bersimbah darah karena ditembak oleh para tentara tersebut
Dilansir dari Sosok.grid.id dalam artikel 'Kala Anak Ahmad Yani Kisahkan Detik-detik Mendebarkan G30S/PKI, Irawan Sura Eddy: Pak Bangun Pak, Ada Tjakrabirawa Mencari Bapak', tragedi ini terjadi di Jalan Lembang, Jakarta pada Jumat (1/10/1965)
Rumah yang ditinggali oleh Panglima Angkatan Darat kala itu, Letnan Jenderal Ahmad Yani menjadi saksi bisu peristiwa berdarah yang pernah terjadi di Indonesia.

Putra Ahmad Yani, Irawan Sura Eddy kala itu berusia 7 tahun terbangun dan mendapati ia sendirian kemudian bergegas mencari ibundanya.
Tetapi sang ibunda tak ada, karena sedang berada du rumah lainnya di Jalan Taman Surapati.
Maka ia membangunkan Mbok Mirah, pembantu dirumah Ahmad Yani kala itu untuk menemaninya duduk di ruang keluarga belakang.
Eddy ingin menunggu sang ibu pulang kerumah agar bisa melanjutkan tidur malamnya.
Detik selanjutnya, terdengar suara gaduh dari tempat penjagaan rumah dinas Panglima Angkatan Darat tersebut.
Heningnya malam itu terpecah oleh kegaduhan tersebut oleh kedatangan sepasukan tentara tak dikenal dengan cepat masuk ke halaman rumah.
Dalam buku "Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966", menuliskan bagaimana tentara yang berseragam Cakrabirawa dengan senjata lengkap tersebut datang ke rumah sang Jenderal.
Tentara yang dipimpin Pembantu Letnan Satu Mukidjan dan Sersan Raswad segera masuk ke dalam rumah melalui belakang.
Pintu belakang rumah sengaja tak dikunci sebab Nyoya Yayu Rullah Ahmad Yani belum pulang kerumah.
Sepasukan tentara tersebut segera bergerak mengepung rumah dari segala penjuru.
Bertemulah anggota tentara tersebut dengan Eddy dan Mbok Milah yang kala itu sedang duduk di ruang belakang dan tak jauh dari pintu belakang rumah.
Mereka pun bertanya keberadaan ayah dari bocah berusia tujuh tahun tersebut.
"Bapak masih tidur", jawab Mbok Milah, dikutip dari buku "Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966".
Dengan mengatasnamakan perintah presiden Soekarno untuk segera menjemput Ahmad Yani, mereka meminta agar sang jenderal segera dibangunkan.
Pembantu rumah tangga tersebut terdiam dan tak beranjak dari tempat duduknya.
Tentara-tentara itupun meminta Eddy untuk membangunkan sang ayah yang masih terlelap dalam tidurnya.
Dengan menggoyangkan kaki ayahnya tersebut bocah laki-laki itu membangunkan ayahnya sembari berkata, "Pak bangun pak. Ada Tjakrabirawa mencari bapak. Bapak diminta datang ke Istana".
Ahmad Yani perlahan membuka mata dan bertanya ada apa sepagi ini ada tentara datang mengganggu istirahatnya.
Sang Jenderal melihat melalui jendela kaca yang menghubungkan ruang makan dengan ruang belakang.
Ternyata pasukan tersebut telah masuk kedalam rumah dan siap siaga membawa senjata yang mereka genggam.
Eddy dengan perasaan takut langsung berlari ke ruang belakang dan berdiri didekat kolam ikan.
Dari tempat ini ia bisa mendengar jelas percakapan antara Jenderal dengan prajurit-prajurit tersebut.
Panglima Angkatan Darat itupun mendekati tentara-tentara yang telah memenuhi rumahnya.
Perdebatan sengit pun terjadi hingga kemarahan Ahmad Yani terdengar oleh Eddy
Beberapa saat kemudian tembakan pun terdengar, membuat Sang Jenderal tersungkur di lantai ruang makan kediamannya tersebut.
Sontak saudara-saudara Eddy terbangun dan keluar ke ruang makan, mereka mendapati ayahnya tengah diseret dan bersimpah darah.
Salah satu dari tentara tersebut membentak saudara-saudara Eddy untuk masuk kembali ke kamar masing-masing.
Mereka diancam akan ditembak kalau tak mengindahkan perintah tersebut.
Dini hari pukul 04.00 1 Oktober 1965 menjadi peristiwa yang tak dapat dilupakan oleh Irawan Sura Eddy atas meninggalnya ayahandanya.