Sosok
Potret CEO Think Indonesia dan Founder NGD Program Esti Nalurani (Cici), Fokus Organisasi Kepemudaan
CEO Think Indonesia, Esti Nalurani, tak pernah putus asa menyebarkan semangat berbisnis dan beretika kepada para pelajar dan mahasiswa.
Penulis: Pipit Maulidiya | Editor: irwan sy
SURYA.co.id | SURABAYA - Esti Nalurani (Cici), CEO Think Indonesia sekaligus founder program New Generation Development (NGD) dan COO PT Delta Anugerah Bahari Nusantara mengaku jika perjalanan hidupnya tidak mudah. Anak kedua dari tiga bersaudara itu mengaku sejak kecil keluarganya hidup dengan penuh perjuangan.
Ia menyaksikan ayahnya membangun usaha mulai dari nol, ditipu, dan akhirnya menjalankan usahanya sendiri hingga kini yaitu PT Delta Anugerah Bahari Nusantara. Saat ini, Cici bertugas di posisi Chief Operating Officer (COO), membantu sang kakak yang jadi CEO.
Pada 2005-2008 awal, dia sempat menjadi reporter investigasi di salah satu stasiun televisi swasta. Tugas terakhirnya adalah investigasi tentang calo aborsi daerah Jakarta.
Cici menemukan sendiri tulang-belulang bayi yang ditelantarkan begitu saja. Itu menjadi momen penting baginya untuk berbuat sesuatu bagi negara Indonesia.
"Yang terpikir saat itu, aku membereskan masalah pribadiku dulu supaya bisa berdiri tegap dan tahu apa yang diinginkan. Aku mengklasifikasi sendiri tujuan hidupku. Aku ingin mengubah nasib anak bangsa ini. Ternyata aku ditertawakan banyak orang," cerita Cici.
Pada 2009 ia memutuskan ikut kursus hypnotherapy dengan harapan bisa meneguhkan mindset awal. Saat itu dia masih S1 Ilmu Komunikasi di Universitas Kristen Petra.
"2010 aku mendapatkan sertifikasi konselor laktasi. Saat itu sedang bersemangat bersama Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia menyosialisasikan menyusui dua tahun. Konsepku, kalau ingin mengubah nasib bangsa, yang harus diubah lebih dulu adalah ibu hamil. Aku mulai kejar semua sertifikasi pelatihan keilmuan di bidang itu, sampai aku menjadi profesional dula atau pendamping melahirkan," tutur Cici antusias.
Saat itu pasiennya banyak hingga punya klinik sendiri. Sempat juga membuka tempat praktik di daerah Bogowonto di tempat dr H Amang Surya Priyanto SpOG. Ia disarankan untuk belajar profesi kebidanan.
Saat itu, Cici pesimistis karena usianya yang tak memungkinkan karena untuk mendaftar di kebidanan yang mematok usia maksimal 27 tahun. Akhirnya, Cici dibuatkan research untuk bisa sekolah lagi.
"Ketika di sekolah kebidanan itu, aku menyadari jika membantu ibu hamil hingga menyusui dan afirmasi, hasilnya baru akan terlihat 18 tahun kemudian. Akhirnya aku beralih ke mahasiswa. Beberapa mahasiswa mempraktikkan ilmu yang aku sampaikan. Di situ feedback-nya bisa tampak," ujarnya.
Baru setelah belajar ilmu psikologi dan kesehatan, Cici menyadari ilmu itu seharusnya diinstal ke anak-anak mulai usia 14 tahun dan bukan mahasiswa. Usia 14 tahun menjadi titik anak mulai rebellion (memberontak), merasa dia sudah besar, dan punya pendapat sendiri. Itu saatnya menginstal mereka tentang surviving entrepreneurship.
"Aku belum temukan teorinya, makanya aku ingin sekolah lagi dan melanjutkan tahap-tahap berikutnya. Akhirnya banyak orang bilang aku nggak fokus. Kemarin hypnotherapy, bidan, sekarang kok entrepreneurship? Akhirnya aku ikut sertifikasi International Coach Federation. Aku yakin ini mengarah pada satu yang sama dan ini proses yang tidak bisa lepas satu sama lain," kata Cici.
Sebagai tahap awal, Cici memberikan mentoring itu kepada anak-anak pelajar dan mahasiswa mulai dari SMP Muhammadiyah 15. Cici menemukan mereka cukup mengerti konsep kemandarian, entrepreneurship, dan want to be myself.
Setelah usia 14 tahun, mereka berpikir mau punya duit sendiri, mau punya duit tanpa harus minta orang tua. Nah, di situlah anak diinstal enterpreneurship, soft skill, bisnis etik, dan hard working.