Sosok
Intan Andaru, Dokter Sekaligus Penulis Novel
Mengenakan sandal jepit, kaus, celana jeans dan topi, Intan Andaru berkeliling Asmat, mencari warga yang membutuhkan bantuan kesehatan
Penulis: Delya Octovie | Editor: Cak Sur
SURYA.co.id - Mengenakan sandal jepit, kaus, celana jeans dan topi, Intan Andaru berkeliling Asmat, mencari warga yang membutuhkan bantuan kesehatan.
Ditemani seorang kawan yang merupakan relawan gereja, perempuan kelahiran Banyuwangi, 20 Februari 1990 itu membawa obat-obatan standar, stetoskop serta timbangan.
"Teman saya itu bukan dokter, tapi saya suruh membantu dengan menumbuk puyer," ujarnya ketika ditemui di kediamannya daerah Manyar, Surabaya, Sabtu (12/1/2019).
Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya tersebut menunjukkan foto-foto dirinya 'blusukan' di sebuah tempat yang tampak seperti bangunan kosong beralas tanah.
Rupanya bangunan tersebut adalah sebuah gereja.
"Kalau berkunjung ke distrik memang saya seringnya blusukan, jadi meskipun seorang dokter, pakainya baju santai seperti ini. Tidak enak rasanya kalau pakai jas, jas dipakai saat di rumah sakit saja," tuturnya.
Intan mengatakan, awalnya ia hanya ingin berkunjung ke Asmat, untuk melakukan riset terkait buku barunya.
Nantinya, dalam buku tersebut, Intan ingin membahas tentang isu-isu kesehatan, utamanya bagi perempuan Asmat.
Menurut penerima Hibah Perempuan Pekerja Seni Cipta Media Ekspresi 2018 itu, sudah banyak penulis yang menceritakan Asmat dari sisi sosial maupun HAM.
"Tetapi sepertinya ini keuntungan saya sebagai seorang dokter, karena saya jadi bisa mengangkat cerita dari bidang kesehatan. Dokter jadi penulis kan juga jarang, jadi ya saya ingin mengangkat dari sisi tersebut," jelasnya.
Namun, niat awal melakukan riset itu tampaknya ditampik oleh warga Asmat sendiri.
Penulis dengan nama pena Andaru Intan itu bercerita, seorang pria Asmat meyakini jika sudah sekali mengunjungi Asmat, pasti akan kembali lagi.
"Benar saja, saya sore ini berangkat lagi ke sana. Tidak lagi sebagai periset, tetapi sebagai dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap). Saya akan bertugas di sana, RSUD Agats, selama satu tahun," katanya sambil tertawa.
Ini bukan kali pertama Intan menjadi dokter PTT di pelosok Indonesia.
Sebelumnya, ia betugas di Halmahera Selatan, tepatnya di sebuah puskesmas bernama Maffa.
Di sana, ia memulai komunitas RAK KACA (Gerakan Suka Membaca), sekaligus mendirikan perpustakaan umum.
"Bertugas di daerah membuat saya ingin mengangkat kisah-kisah sosial di sana, cerita-cerita yang mungkin belum didengar orang. Penulis itu kan berproses ya, saya tidak ingin karya saya begitu-begitu saja. Saya ingin pembaca tidak hanya terhibur, tetapi juga mendapat informasi penting dengan membaca karya saya," terangnya.
Menyebrang Genre
Tulisan pertama Intan yang ia publikasikan sendiri, memang telah mengangkat permasalahan yang cukup kompleks di masyarakat, yakni soal penerimaan terhadap pengidap HIV/AIDS.
Buku kumpulan cerpen tersebut diberi judul 'Saat Waktu Berkejaran', yang ia luncurkan tak lama usai kelulusannya, yakni pada tahun 2013.
Tetapi, pada perjalanannya, peserta Residensi Penulis ASEAN-Jepang dan pembicara di ASEAN literary Festival 2017 ini menelurkan tulisan berupa novel, mini novel, sampai antologi cerpen, yang semuanya bergenre roman.
Di antaranya adalah Teman Hidup (2017), Namamu dalam Doaku (2015) dan Jatuh di Hatimu (2014).
"Kemudian, saya mendapat banyak masukan dari teman-teman, bagaimana kalau menulis tidak hanya tentang cinta saja, tetapi yang lebih berdampak pada masyarakat? Tulisan saya yang cinta-cintaan ini kan lebih pada tujuan menghibur, kenapa tidak mengangkat tujuan yang lebih besar?" paparnya.
Intan pun seakan kembali pada runtutan pengerjaan novel seperti buku pertamanya.
Cerita-cerita di buku pertamanya, ia dapatkan dari kisah para pasiennya selama Co-Ass di RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Ia mengaku tak tahu mengapa, selama itu banyak pasien pengidap HIV/AIDS yang bertemu dengannya.
"Mau tak mau sebagai seorang dokter, pasti saya menanyakan hal-hal pada pasien saya, yang berkaitan dengan penyakitnya. Akhirnya muncul cerita-cerita menarik di sana," ucapnya.
Lewat cerita-cerita pasiennya, Intan menyadari bahwa sebenarnya penyakit yang mereka derita tak separah itu.
Yang memperparah sesungguhnya adalah stigma negatif yang disematkan masyarakat pada mereka.
Alumnus SMAN 1 Genteng ini mengungkap sebuah kisah yang membekas di antara kisah-kisah lainnya.
"Ada pasien yang cerita, dia itu dulunya bekerja sebagai PSK, lalu sudah berhenti dan menikah. Ketika hamil, ia semakin kurus, akhirnya ketahuan kalau dia mengidap HIV/AIDS. Sayangnya, dia jadi dikucilkan sama warga kampungnya gara-gara penyakitnya," jelasnya.
Keadaan tersebut tak ayal membuat kondisi pasiennya semakin parah.
"Jadi ya sebenarnya penyakitnya tidak parah, tapi sikap masyarakat yang memperparah," tukasnya.
Buku berikutnya, 33 Senja di Halmahera.
Cerita-cerita yang menjadi ide tak hanya didapat dari pasien, tetapi juga warga yang dekat dengannya.
Intan yang senang bercengkrama, bahkan masak-masak bersama dengan mereka, kerap mendengar cerita ketakutan mereka kala konflik 1998.
Imbas konflik bernuansa agama tersebut, katanya, masih terasa hingga sekarang.
Sampai-sampai, ada seorang pasien yang sakit parah dan perlu pengobatan di kota.
Meski sudah memiliki BPJS, akomodasi dan transportasi ke kota tetap memakan biaya yang cukup besar.
Ia pun membantu pendanaannya lewat WeCare.id, sebuah situs web khusus pengumpulan dana bagi pasien berkemampuan finansial terbatas.
"Itu dia sampai benar-benar tidak percaya bahwa saya Muslim, dan mau membantu dia yang seorang Nasrani. Bagi mereka, agama itu sebuah sekat yang tidak bisa ditembus. Memang mereka kalau bertemu dengan warga agama lain saling menyapa, tapi ya sekadar itu saja, tidak dekat personal," terangnya.
Lewat buku tersebut, Intan ingin orang-orang tahu bila agama tak usah dijadikan pemisah, dan perbuatan baik tak harus melihat latar belakang agama.
Angkat Luka Lama Tanah Kelahiran
Sebagai seorang penulis yang sudah menghasilkan karya tentang pelosok Nusantara, Intan justru belum pernah mengangkat tentang tanah kelahirannya, Banyuwangi.
"Agak lucu sih memang, saya sudah mengangkat cerita tentang daerah-daerah lain, tapi malah belum menceritakan soal kampung halaman saya," sahutnya.
Ada satu kisah dari tempat asalnya, yang membuatnya sangat gelisah, yakni pembantaian dukun santet.
Kisah di tanah kelahirannya itu, mendorongnya melahirkan karya yang baru saja ia luncurkan Januari 2019 ini, yaitu 'Perempuan Bersampur Merah'.
Novel ini masih memiliki unsur roman, namun berlatar belakang tragedi pembantaian terhadap orang yang diduga melakukan praktik ilmu hitam, yang terjadi pada kurun waktu Februari hingga September 1998.
Cerita pembantaian memang menggelisahkan, tetapi yang sangat mengganggu Intan, adalah bagaimana anak-anak muda Banyuwangi menyikapi tragedi tersebut sebagai hal yang wajar.
"Itu yang membuat saya heran, kok anak-anak mudanya menganggap kejadian itu hal biasa. Katanya, 'ya wajar, kan yang dibunuh dukun santet'. Padahal pada kenyataannya, bukan hanya dukun santet yang jadi korban, tapi pawang hujan bahkan orang biasa," paparnya.
Meski pencarian informasi dilakukan di kota asalnya, rupanya Intan tak bisa mendapat yang ia butuhkan semudah di Halmahera.
Karenanya, ia menghimpun informasi dari masyarakat sekitar, dan berhasil mengorek kisah sebuah keluarga korban pembantaian.
"Tapi ya tidak semudah itu juga. Saya harus beberapa kali bertemu dengan mereka, baru mereka mau bercerita. Saya saja awalnya tidak mengaku sebagai penulis, tetapi mahasiswa. Ketika sudah dekat dengan keluarga tersebut, baru saya katakan tujuan saya," jelasnya.
Buku terbitan Gramedia itu mengisahkan tentang Sari yang kehilangan bapak sebagai tertuduh dukun santet, serta paman sekeluarga yang pergi meninggalkan kampung karena stigma negatif masyarakat.
Sari, dibantu dengan dua sahabatnya, Rama dan Ahmad, berusaha mencari orang-orang yang ikut andil dalam pembantaian bapaknya.
Tapi dalam pencarian tersebut, Sari-Rama-Amad justru memasuki kisah cinta yang rumit.
Lewat novel ini, Intan berharap ia bisa membuka mata masyarakat tentang kepedihan yang sebenarnya terjadi saat pembantaian tersebut.
"Supaya orang tahu, kalau pembunuhan semena-mena itu tidak bisa dibenarkan. Harus melewati peradilan terlebih dahulu," tutupnya.