Kilas Balik
Cerita Mbah Parno Akan Ditembak Ajudan Soeharto Gara-gara Pisang, Endingnya Pak Harto Minta Maaf
Suparno, pria yang bekerja sebagai penjaga Masjid Istiqlal sejak 66 tahun silam ini sempat menceritakan kisahnya dengan Soeharto
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Musahadah
SURYA.co.id - Suparno (95), pria yang bekerja sebagai penjaga Masjid Istiqlal sejak 66 tahun silam ini sempat menceritakan kisahnya dengan Soeharto
Suparno yang telah mendedikasikan puluhan tahun hidupnya menjaga Masjid Istiqlal, ternyata punya banyak cerita-cerita menarik dengan orang-orang penting seperti Soeharto
Dilansir dari Kompas.com, pria yang akrab disapa Mbah Parno ini punya kisah berbicara langsung dengan dua presiden Indonesia, Ir Soekarno dan Soeharto.
Saat Masjid Istiqlal dibangun, Mbah Parno awalnya bekerja sebagai kuli di sana.
Ketika itu, presiden yang berkuasa masih Presiden Soekarno
Ia ingat sering bersalaman ketika Bapak Proklamator itu berkunjung.
"Pak Soekarno tanya saya asal mana, saya bilang dari Boyolali, dia tanya kok saya ke Jakarta, ya saya bilang untuk menyambung hidup. Dia bilang 'Oh ya sudah kerja yang baik, istirahat kalau capek, makan kalau lapar'," kenang Mbah Parno saat ditemui Kompas.com di rumahnya, Sabtu (7/1/2018) lalu.
Perjalanan Mbah Parno kemudian berubah, menjadi pelayan Frederich Silaban, sang arsitek Masjid Istiqlal.
Saat itu, tak hanya melayani Silaban, Mbah Parno juga kerap diminta melayani tamu istimewa, di antaranya Panglima TNI kala itu, Jenderal Soeharto.
Ada kenangan unik Mbah Parno bersama Soeharto saat itu
Mbah Parno mengaku pernah mau ditembak oleh ajudan Soeharto.
Ceritanya, saat itu Mbah Parno menyuguhi pisang ke meja Soeharto.
Namun tak berapa lama, ajudan Soeharto memanggilnya.
"Saya dipanggil, dia pegang pistol, tanya 'Kamu mau ditembak?'," ujar Parno.
Parno saat itu hanya kebingungan lantaran tak tahu apa salahnya.
"Dia marah karena pisangnya rasanya sepat. Waktu beli di Pasar Baru kan saya beli saja pisang yang gede, pisang raja. Rupanya dia tidak suka," kata Parno.
Parno pun meminta maaf.
Namun, ternyata, Soeharto hanya bercanda.
Tak lama, Soeharto menghampiri dirinya untuk minta maaf.
Pernah Jadi Pelayan
Mbah Parno juga sempat menjadi pelayan Silaban dan insinyur-insinyur yang membangun Istiqlal.
Saat itu sang mandor mengumumkan tengah membutuhkan satu orang untuk menjadi pelayan Silaban dan insinyur-insinyur yang membangun Istiqlal.
Dari ribuan kuli, tak ada yang mau menjadi pelayan.
"Pas lagi itu, saya tiduran di pohon kan capek habis ngaduk semen. Semua teman-teman nunjuk-nunjuk ke saya," kata Mbah Parno.
Parno pun dipanggil oleh mandor. Ia diminta menjadi pelayan dengan pekerjaan lebih ringan, namun upah lebih kecil.
Upah kuli sehari mencapai Rp 15, sementara pelayan atau pekerja administratif hanya Rp 5.
"Ditanya 'Benar mau ya? Nanti setelah masjid jadi diangkat loh jadi PNS', saya percaya enggak percaya, tapi tetap saya jalanin," ujar Parno.
Tak cuma upah yang lebih rendah yang membuat para kuli tak ada yang mau bekerja jadi pelayan para insinyur dan arsitek.
Galaknya Frederich Silaban juga jadi salah satu sebab. Namun, Mbah Parno sudah terlanjur mengambil kesempatan itu.
"Pak Silaban itu... Wah galak banget, (orang) Batak kan dia," kata Mbah Parno.
Namun menurut Mbah Parno, hanya dirinya yang bisa dipercaya sang arsitek.
Mbah Parno lah yang hafal kegemaran Frederich, mulai dari kopi, makan siang, bir, hingga martabak khas timur tengah di bilangan Harmoni.
Keduanya pun menjadi akrab. Keluarga Silaban bahkan pernah mencari Mbah Parno untuk mengucapkan terima kasih beberapa tahun lalu.
"Pernah sekali waktu saya bilang kalau saya mendoakan Pak Silaban masuk Islam. Dia tidak marah," kata Mbah Parno.
Pernah jadi pengantar surat
Setelah menjadi kuli dan pelayan, Mbah Parno ditawari tetap bekerja di Istiqlal sebagai pengantar surat.
Setiap pagi, ia berjalan kaki dari kontrakan mungilnya di Gang Mangga, Kemayoran ke Masjid Istiqlal.
Untuk mengantar surat di Gedung Pos di Lapangan Banteng pun ia kerap berjalan kaki.
"Saya enggak mau naik angkutan umum. Sering diajak bareng sama orang Kemenag dan orang Setneg pun saya tidak mau. Lebih suka jalan kaki," kata Parno.
Seiring bertambahnya usia, pekerjaan Mbah Parno semakin mudah.
Di hari tuanya, ia bekerja sesukanya mengatur saf shalat.
Ia bahkan tak perlu absen. Tak ada dorongan lain yang membuat Mbah Parno betah bekerja puluhan tahun di Istiqlal selain ibadah.
Penghargaan berupa rumah yang diterimanya dari Kemenag pada Jumat (4/1/2019) lalu pun tak pernah diharapkannya.
"Kerja itu yang penting mental kuat. Jangan mencuri, jangan menipu. Selamat keluarga sehat, selamat, hidup cukup, itu sudah sangat bersyukur," kata Mbah Parno.