Haul Gus Dur

Beda dengan Jokowi, Gus Dur Terang-terangan Mengaku China Tulen

Beda dengan Presiden Jokowi, Gus Dur ketika menjabat Presiden terang-terangan mengaku keturunan China tulen.

Editor: Tri Mulyono
Website NU Gallery
Beda dengan Jokowi, Gus Dur terang-terangan mengaku China tulen. Tampak lukisan Gus Dur mengenakan pakaian cheongsam, yang diunggah dalam situs NUgallery.net. 

SURYA.CO.ID, JOMBANG - Isu etnis dan SARA kerap mewarnai percaturan politik di Tanah Air, terutama menjelang pemilu seperti saat ini.

Karena itulah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan menyatakan, pemilihan presiden maupun pemilihan kepala daerah merupakan pesta demokrasi yang berlangsung lima tahun sekali, sehingga harus diwarnai dengan politik beradab.

Pernyataan Jokowi itu menjawab sejumlah tudingan kepada dirinya yang antara lain menyebut Jokowi adalah keturunan China (Tionghoa).

"Ada juga isu Pak Jokowi anak Tionghoa dari Singapura, namanya A Hong Liong. Bapak saya itu orang Karanganyar, orang desa betul di Karanganyar. Ibu saya orang desa di Boyolali," ujar Jokowi di Asrama Haji Bekasi, Jawa Barat, Kamis (31/5/2018) lalu.

Jokowi prihatin bila ada masyarakat yang percaya isu miring tersebut.

Testimoni Kwik Kian Gie di Haul Ke-9 Gus Dur: Kaget, Saya Orang Tionghoa Ditunjuk jadi Menko Ekuin

Intip 4 Gaya Hidup Mewah Muzdalifah Kekasih Fadel Islami - dari Tas hingga Ikat Pinggang Branded

Seorang wanita bisikkan sesuatu ke Jokowi.
Seorang wanita bisikkan sesuatu ke Jokowi. (Agus Suparto/Fotografer Kepresidenan)

Padahal isu etnis Tionghoa seharusnya sudah selesai setelah diakhiri di era Presiden Gus Dur.

Perlu diketahui, Gus Dur adalah orang yang pertama menyudahi diskriminasi terhadap kelompok Tionghoa selama bertahun-tahun di Tanah Air.

Melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur ketika itu mencabut instruksi Presiden Soeharto pada tahun 1967 yang membatasi gerak kelompok Tionghoa.

Di dalam peraturan itu, kelompok Tionghoa tidak diperkenankan melakukan tradisi atau kegiatan peribadatan secara mencolok, dan hanya dibolehkan di lingkungan keluarga.

Alasannya, ketika itu, Soeharto menganggap aktivitas warga Tionghoa telah menghambat proses asimilasi dengan penduduk pribumi.

Alhasil, perayaan Tahun Baru Imlek pun tidak dilakukan terbuka selama masa Orde Baru.

Pada Masa Orde Baru pula, semua warga keturunan Tionghoa diwajibkan untuk mengubah nama Tionghoa-nya ke bahasa Indonesia.

Begitu menjabat sebagai Presiden, Gus Dur tidak sepakat dengan pemikiran Soeharto ketika itu.

Dia meyakini bahwa warga Tionghoa sebelumnya dibedakan dari warga negara Indonesia sehingga mereka berhak mendapatkan hak yang sama, termasuk menjalani keyakinannya.

Halaman
1234
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved