Sudut Pandang
Mitigasi Gempa, Upaya Mencegah Jatuhnya Korban
Hingga saat ini gempa masih belum dapat diprediksi kejadiannya dengan baik, dan sudah jelas fenomena alam ini tidak dapat dicegah terjadinya.
Penulis: Doso Priyanto | Editor: Parmin
PEDIH SEKALIi, begitu banyak korban yang jatuh akibat gempa beruntun di Pulau Lombok
sejak 5 hingga 19 Agustus 2018, baik yang meninggal dunia, maupun yang terluka. Rentetan
gempa besar dengan lokasi pusat gempa yang tergolong dangkal, dengan magnitude berkisar
pada angka 7 skala Richter, diikuti lebih dari 1000 gempa susulan yang berskala lebih kecil, telah
memorakporandakan Pulau Lombok dan sekitarnya.
Hingga 24 Agustus, jumlah korban jiwa yang telah terindentifikasi berjumlah 555 orang. Jumlah tersebut masih mungkin bertambah.
Di samping korban jiwa, jumlah korban yang mengalami luka-luka tercatat jauh lebih besar
jumlahnya, lebih dari 800 orang. Sebagian besar korban-korban ini meninggal atau terluka
akibat tertimpa bangunan yang runtuh akibat goncangan gempa. Bisakah jatuhnya korban
gempa dicegah?
Gempa Tak Dapat Dicegah
Hingga saat ini gempa masih belum dapat diprediksi kejadiannya dengan baik, dan
sudah jelas fenomena alam ini tidak dapat dicegah terjadinya. Peta gempa yang memetakan
resiko dan potensi terjadinya gempa sudah dibuat dan senantiasa terus diupdate, berdasarkan
rekaman sejarah terjadinya gempa selama ratusan tahun dan studi-studi mendalam di bidang
geologi/geoteknik. Namun, alat dan metode yang dapat digunakan untuk memprediksi kapan
terjadinya gempa dengan akurat hingga kini belum tersedia.
Teori terjadinya gempa yang diterima luas adalah teori lempeng, yang menggambarkan
bumi ini terdiri dari susunan lempeng-lempeng raksasa, yang saling bergerak dan bertumbukan
satu sama lain. Pada satu titik tertentu, energi tumbukan antar lempeng yang terakumulasi
selama bertahun-tahun atau bahkan ratusan tahun, tidak dapat ditahan lagi, harus dilepaskan.
Pelepasan energi yang terjadi secara tiba-tiba ini mengakibatkan terjadinya gempa dan bahkan
tsunami, bila pusat gempa terletak di dasar laut.
Jatuhnya Korban Dapat Dihindarkan
Terjadinya gempa memang tidak dapat dicegah. Namun demikian, gempa tidak selalu
menyebabkan terjadinya bencana. Misalnya, gempa yang pusatnya jauh di dalam bumi ataupun
di lokasi yang jauh dari pemukiman manusia sangat mungkin tidak menyebabkan terjadinya
korban jiwa maupun material.
Umumnya korban manusia terjadi akibat tertimpa runtuhan bangunan yang ambruk
karena goncangan gempa, seperti halnya yang terjadi di Pulau Lombok ini. Bangunan-bangunan
yang tidak dapat bertahan inilah yang menjadi ‘pembunuh kejam’ yang sesungguhnya.
Karenanya jelas, bila bangunan bisa dibuat tetap berdiri tegak setelah mengalami
goncangan gempa besar, niscaya jatuhnya korban manusia dapat dihindarkan, atau setidaknya
diminimalisir. Falsafah utama perencanaan bangunan di daerah gempa adalah struktur
bangunan boleh rusak parah akibat gempa besar, namun tidak boleh runtuh, supaya terjadinya
korban jiwa dan korban luka dapat dihindarkan. Upaya untuk meminimalisir jatuhnya korban
dan kerugian akibat gempa ini disebut sebagai mitigasi bencana gempa.
Rumah Dapat Dibuat Tahan Gempa
Secara umum, struktur bangunan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang
direncanakan oleh para insinyur bangunan (engineered structures) dan yang tidak (non-
engineered structures). Bangunan rumah tinggal warga umumnya tergolong dalam kelompok
non-engineered structures, alias direncanakan dan dibangun sendiri oleh pemilik dibantu oleh
para tukang bangunan. Bangunan-bangunan non-engineered ini yang umumnya banyak
mengalami keruntuhan akibat gempa, khususnya yang dibangun berbahan tembok dan beton.
Dalam banyak kejadian gempa di Indonesia, bangunan-bangunan rumah tinggal yang
terbuat dari kayu, bambu atau bahan non-tembok lainnya tetap berdiri kokoh, walaupun telah
mengalami guncangan gempa besar. Rumah-rumah adat dan tradisional banyak yang tidak
mengalami kerusakan berarti, kecuali yang memang sudah lapuk.
Bangunan-bangunan berbahan material lokal non tembok umumnya dibangun sendiri
oleh masyarakat, berdasarkan pada pengalaman dan kearifan lokal, hasil dari proses belajar
puluhan atau bahkan ratusan atau ribuan tahun, termasuk pengalaman diguncang gempa.
Kearifan ini kemudian diwariskan secara turun temurun.
Tidak demikian halnya dengan rumah/bangunan berbahan tembok dan beton.
Masyarakat umum dan bahkan para tukang/mandor bangunan pada umumnya tidak memiliki
pemahaman yang mendalam tentang karakter material yang getas ini. Padahal, seiring dengan
kemajuan jaman dan pertumbuhan ekonomi, bangunan rumah tinggal berbahan tembok dan
beton inilah yang banyak dipilih masyarakat. Minimnya pemahaman akan karakter material
tembok dan beton ini, sering berakibat fatal pada runtuhnya bangunan secara relatif mudah
karena goncangan gempa, dan berakibat pada jatuhnya korban nyawa dan luka akibat tertimpa
runtuhan bangunan.
Bangunan-bangunan non-engineered berbahan tembok dan beton sejatinya dapat
dibuat tahan gempa, tanpa harus menjadi terlalu mahal. Teknologi-teknologi sederhana yang
didasarkan pada pemahaman yang mendalam terhadap karakter material tembok dan beton,
dan perilaku bangunan akibat gempa telah banyak tersedia, dan terbukti telah menghasilkan
bangunan yang tidak mudah roboh karena gempa. Negara kita bahkan sudah memiliki Standar
Nasional Indonesia (SNI) untuk hal ini.
Secara garis besar, hal-hal yang amat perlu diperhatikanketika membangun rumah di daerah rawan gempa, khususnya bangunan tembok, adalah dengan memperhatikan sambungan di antara bagian-bagian bangunan, kualitas pengerjaan, konfigurasi bangunan dan peletakan bukaan pintu dan jendela.
Masyarakat yang hidup di daerah beresiko gempa tinggi perlu diedukasi tentang tata cara membangun rumah yang benar, dibarengi dengan upaya penerapan regulasi dan pengawasan yang tepat, khususnya ketika
masa tanggap darurat dan rehabilitasi sudah usai, dan telah memasuki masa rekonstruksi.
Mitigasi bencana gempa dalam bentuk proses edukasi dan penerapan regulasi dan
pengawasan yang tepat pada masa rekonstruksi ini amat krusial untuk dilakukan, karena masa
ini merupakan masa emas.
Masyarakat masih segar ingatannya akan besarnya bencana yang dapat ditimbulkan oleh runtuhnya bangunan yang tidak didesain dan dibangun dengan tepat untuk berespon dengan baik terhadap gaya gempa, dan karenanya menjadi lebih mudah diedukasi. Selain itu, di tahapan ini proses pembangunan kembali rumah-rumah yang porak
poranda karena gempa secara besar-besaran dilakukan. Bila masa emas ini dilewatkan, dikawatirkan kebiasaan lama akan diulang kembali, karena sifat manusia yang mudah lupa.
Mari kita cegah agar sejarah kelam ini tak terulang.