Desa Wisata Kalipucang Pasuruan, Kembangkan Kampung Susu Sisa Peninggalan Zaman Belanda
Selain Kampung Susu, desa ini juga menawarkan beberapa wisata alam yang tak kalah menarik, seperti air terjun Sumber Nyonya, 7 Sumber Telogo, dll.
Penulis: Galih Lintartika | Editor: irwan sy
SURYA.co.id | PASURUAN - Desa Kalipucang, Tutur, Kabupaten Pasuruan, menyimpan sejarah panjang kehidupan kolonial Belanda. Sekitar tahun 1991, orang-orang Belanda mulai masuk ke kawasan ini dan memulai kehidupan koloni yang budayanya tetap terbawa ke penduduk sekitar hingga saat ini.
Posisi Desa Kalipucang 28 kilometer arah Selatan dari pusat Pemkab Pasuruan. Desa ini memiliki budaya pertanian dan peternakan warisan 'wong Londo' zaman penjajahan.
Di sektor pertanian, sejak dulu Kalipucang masyhur sebagai penghasil kopi dan cengkeh. Sedangkan di sektor peternakan, susu sapi perah menjadi salah satu sumber utama penghasilan masyarakat desa.
“Kopi, cengkeh, dan susu, di Kalipucang memiliki sejarah yang panjang sekali. Bahkan, ketiganya merupakan saksi bisu masa penjajahan Belanda.” kata warga setempat, Yamin, beberapa waktu lalu.
Yamin, mengatakan, sejarah susu perah di Kalipucang dimulai pada 1911 atau bersamaan dengan masuknya Belanda ke wilayah Nongkojajar masuk Kecamatan Tutur.
Kala itu, orang-orang Belanda kebingungan mencukupi kebutuhan susu yang sangat tinggi, namun minim keadaannya.
Atas dasar itu, kata Yamin, para pimpinan Belanda yang bertugas di Nongkojajar mendatangkan sapi perah dari negaranya.
“Kata mbah saya saat itu, Belanda merupakan salah satu dari lima negara dengan tingkat konsumsi tertinggi di dunia. Mereka sangat butuh susu, tapi peternakannya tidak ada," ungkapnya.
Selanjutnya, kata Yamin, Belanda membawa sapi perah ke wilayah Nongkojajar dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan susu bagi orang-orang Belanda.
“Jadi, dahulu itu ada banyak sekali sapi yang dibawa ke sini. Sapi-sapi tersebut diarak dan dipamerkan di benteng. Warga banyak yang berkumpul untuk melihat sapi-sapi tersebut,” ujar Yamin yang lebih akrab dipanggil Simbah.
Atas keberadaan sapi-sapi tersebut, masyarakat setempat akhirnya dipaksa Belanda untuk beternak sapi perah.
"Cara beternaknya harus mengikuti kemauan mereka. Padahal kan itu hal baru bagi masyarakat di sekitar sini,” ungkap pria yang hampir memasuki usia kepala delapan tersebut.
Hasil perahan susu tersebut diantar dengan jalan kaki atau diangkut kuda menuju benteng. Susu tersebut kemudian digunakan Belanda untuk memenuhi kebutuhan susu para koloninya yang ada di kawasan Pasuruan. Menurut Simbah, para warga biasanya setor minimal seminggu sekali.
Tidak hanya susu, Belanda juga membawa dua jenis tanaman baru ke Nongkojajar, yakni kopi dan cengkeh. Selain dipaksa untuk beternak sapi, warga setempat diberikan tugas lain untuk membudidayakan dua tanaman tersebut.
Sama halnya dengan susu, hasil panen kopi dan cengkeh tersebut juga disetor minimal seminggu sekali ke Nongkojajar.