Sambang Kampung Krembangan Selatan
Demi Jaga Kualitas, Misoa Pesapen Bertahan dengan Proses Tradisional
Pembuatan Misoa yang tradisional dan bahan baku yang dijaga membuatnya tak bisa menimbun banyak bahan baku.
Penulis: Sulvi Sofiana | Editor: Parmin
SURYA.co.id |SURABAYA – Gulungan mi berwarna putih dijemur dipelataran rumah di area Pesapen, Kelurahan Krembangan Selatan, Kecamatan Krembangan. Tak jauh dari jemuran mi tersebut, beberapa orang terlihat mengurai adonan yang telah menjadi mi hingga menjuntai rapi lalu diangin-anginkan.
Mi tersebut merupakan Misoa atau misua adalah mi halus dan tipis yang dibuat dari gandum. Meskipun Nampak sama dengan Bihun ataupun suun, namun tekstur mi jelas berbeda.
Warnanya juga lebih pekat dibandingkan Bihun yang terbuat dari tepung beras dan Suun dari sagu.
Misoa di daerah Pesapen merupakan salah satu produsen Misoa tertua di Surabaya. Usaha yang sudah dijalankan 3 generasi ini bertahan dengan proses produksi tradisional.
Semua prosesnya dilakukan tenaga manusia. Mulai dari pengadukan, pengepresan, pengeringan atau penjemuran, dan pengemasan.
Soebiyanto Djajawikarta (58), merupakan generasi ketiga Misoa yang menjalani usaha ini sejak 10 tahun yang lalu.
Ia memutuskan beralih dari usahanya di bidang hasil laut menjadi mengusaha Misoa menggantikan orang tuanya.
“Tidak ada yang berubah sejak kakek saya membuat Misoa, pegawianya juga banyak yang dari turun temurun keluarganya. Bahkan ada yang sudah 30 tahun bekerja di sini,” ujarnya.
Pasar konsumen Misoa menurutnya saat ini semakin meluas. Tidak hanya warga Tionghoa, bahkan pribumi juga banyak yang mengonsumsinya.
Hal ini membuat kebutuhan akan Misoa tetap bertahan di tengah gencarnya globalisasi produk makanan.
“Misoa saya sudah dikirim ke Sulawesi, Kalimantan, NTT, Ambon. Bahkan konsumen saya di Kalimantan itu mayoritas pribumi,” urainya.
Pembuatan Misoa yang tradisional dan bahan baku yang dijaga membuatnya tak bisa menimbun banyak bahan baku.
Setidaknya bahan baku ia simpan hingga dua minggu, sehingga saat harga gandum naik di tahun 2008, ia harus membeli bahan baku yang harganya naik 100 persen.
“Misoa ini tidak bisa saya stok lama-lama. Kalau orang mau pesan juga kalau ada barang, tidka bisa pesan untuk tiga bulan ke depan,” ujarnya.
Melihat pembuatan Misoa sejak kecil membuat Soebiyanto memahami proses pembuatan Misoa. Berbeda dengan mi instan, Misoa butuh dua hari pengeringan sebelum dikemas.