Feature

Kisah Mantan Atlet Angkat Berat Peraih Banyak Medali, Hidup Pas-pasan Kerja Jadi Kuli

Jatmiko pernah merasakan kebanggaan saat mewakili daerah dalam Kejuaraan Nasional (Kejurnas) cabang olah raga angkat berat.

Penulis: Aflahul Abidin | Editor: Rahadian Bagus Priambodo
SURYAMALANG.COM/Hayu Yudha Prabowo
Jatmiko, mantan atlet angkat berat saat bekerja di SDN Bandungrejosari III, Kota Malang, Jumat (12/8/2016) 

SURYA.co.id|MALANG - Jatmiko pernah merasakan kebanggaan saat mewakili daerah dalam Kejuaraan Nasional (Kejurnas) cabang olah raga angkat berat. Rasa bangga itu yang membuatnya tak mudah mengeluh.

Meskipun, selama menjadi atlet mulai 1992 hingga 2007, bahkan hingga saat ini, ia hampir selalu hidup dalam taraf ekonomi yang tak terlalu baik.

Miko, sapaan akrabnya, amat pendiam. Tutur kalimat yang keluar dari mulutnya tak segarang postur tubuhnya.

“Sejak tidak aktif jadi atlet, bobot tubuh saya turun 10-an kilogram,” kata bapak dua anak yang saat ini berbobot 70 kg itu.

Selama 15 tahun bergelut dengan dunia angkat berat, Miko berhasil meraih enam medali dalam ajang Kejuaraan Nasional.

Satu medali emas diraih dalam Kejurnas yang digelar di Ibu Kota tahun 1998.

Dua medali perak ia terima diajang yang sama pada 1998 dan 2007. Tiga sisanya adalah medali perunggu yang ia pun lupa didapat tahun berapa.

Di rumahnya, di Parangargo, Wagir, Kabupaten Malang, hanya tersimpan lima medali.

“Satunya hilang,” kata Miko. Medali yang tersisa itu disimpan di salah satu laci lemari dalam kamar.

Sementara di pojok ruang tamu, berdiri piala setinggi lebih dari satu meter berbungkus kubus kaca.

Di bagian bawah piala tertulis: Juara 1 Kejuaraan Terbuka Angkat Berat Jenis Bench Press se-Jawa Timur tahun 2007.

“Saya ikut lomba itu karena tertarik dengan pialanya yang besar. Itu terakhir kali saya ikut lomba. Saya menang setelah bisa mengangkat 170 kg beban. Yang lain paling banyak 140-an saja,” ucapnya bangga.

Di piala terpajang juga foto kecil pernikahan Miko dengan istrinya, Suliati. 

Ada banyak hal yang membuat Miko memilih meninggalkan profesinya sebagai atlet.

Satu di antaranya urusan ekonomi keluarga.

Pria kelahiran 4 Juni 1974 itu pertama kali tertarik masuk dunia angkat berat profesional setelah tamat SMP tahun 1992.

Selain urusan ekonomi, alasan lain ia tak melanjutkan sekolah juga karena merasa bermasalah dengan bagian kepalanya.

“Kalau dibuat berpikir yang berat, ini sering sakit,” ujarnya sambil memegang bagian belakang leher.

Untuk mengasah bakat yang sudah dimiliki sejak masih SMP itu, Miko belajar pada seorang pelatih angkat berat di daerah Dinoyo, Lowokwaru, Kota Malang.

Di sana, ia digembleng hingga akhirnya bisa turun langsung pada perlombaan tingkat nasional.

Selain prestasi yang sudah didapat, Miko juga merasa bangga saat nyaris lolos ke ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) 2007, andai saat itu ia bisa menganggat beban sedikit lebih berat lagi.

Saat bertanding di Pra-PON, ia hanya menduduki peringat enam.

Padahal, atlet di cabang olah raga sama yang akan diloloskan ke PON adalah urutan lima besar. Miko mengenang, selisih berat yang bisa ia taklukkan dibanding atlet yang ada diurutan kelima hanya belasan kg saja.

Meski mencintai angkat berat, ia menganggap dunia itu tidak berpihak secara finansial.

Sebagai atlet, Miko hanya merasakan punya duit lumayan saat mengikuti Training Centre (TC) dan ketika ikut dalam kejuaraan.

Seumur hidup, Miko pernah mengikuti dua kali TC. Di sana, saban bulan ia menerima gaji sekitar Rp 1 juta. Akan tatapi, TC begitu menyita waktu Miko. Hal itu yang membuatnya tidak betah.

Di sela latihan angkat berat itu, Miko muda juga sudah bekerja sebagai tukang bangunan. Dua kegiatan itu praktis memakan waktu Miko seharian penuh.

Jadwal istirahat pun berantakan. “Saat itu kerja pukul tujuh pagi sampai empat sore. Habis magrib latihan sampai pukul sepuluh,” tuturnya.

Berlatih, berkompetisi, dan bekerja, menjadi rutinitas yang tak lepas dari Miko selama belasan tahun.

Selain menjadi tukang bangunan, Miko juga pernah bekerja sebagai kuli angkut di toko bangunan dan tukang angkat-angkat batang pohon di sebuah proyek.

Semuanya tidak lepas dari kegiatan yang berhubungan dengan barang-barang berat.

Menghidupi keluarga memang menjadi tanggung jawab utama Miko saat itu.

Anak kedua dari tiga bersaudara tersebut harus membantu biaya kehidupan sehari-hari keluarga, terlebih setelah sang bapak meninggal ketika ia belum masuk Sekolah Dasar.

Setelah berkeluarga dan memiliki anak, Miko mulai memfokuskan diri hanya untuk dunia barunya itu.

Tanggunjawabnya sebagai pemimpin di rumah menyadarkan giat mencari nafkah.

Saat ditemui, Miko tengah ikut menggarap proyek di SDN Kebonsari 3 Malang.

Dari rumah ke tempat kerja itu, ia mengendari sebuah motor yang di bagian bawah pelat nomornya tertulis: PABBSI.

“Itu singkatan dari Persatuan Angkat Berat, Angkat Besi, dan Binaraga Seluruh Indonesia,” terangnya.

Meski sudah beberapa tahun tidak aktif di angkat berat, Jatmiko belum bisa lepas sepenuhnya dari dunia angkat berat.

Kini di sela kesibukannya, Miko tetap menyempatkan diri untuk berkunjung ke sekretariat PABBSI di Stadion Gajayana, Kota Malang. Biasanya setiap Minggu, beberapa bulan sekali.

Tidak sering, memang. Namun, itu menjadi salah satu cara Miko mengobati rasa rindunya pada dunia angkat berat.

Ketika melihat para anak muda berlatih keinginannya untuk kembali turun tangan selalu muncul. (suryamalang/aflahul Abidin)

Sumber: Surya Malang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved