Berita Pendidikan Surabaya

Sulfurminer, Kisah Hidup Penambang Belerang Gunung Welirang Berjibaku dengan Bahaya

Berharap mendapatkan hasil tambang besar mereka mendaki di pagi buta, dan memikul berat belerang menyusuri jalan sempit.

Penulis: Pipit Maulidiya | Editor: Titis Jati Permata
antara
Ilustrasi, penambang tradisional memikul belerang yang diambil dari dasar kawah Ijen, Desa Ampelgading, Licin, Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu (30/3/2014). 

SURYA.co.id | SURABAYA - Kehidupan masyarakat di sekitar gunung Welirang menarik perhatian Fahmi Rosyidi, mahasiswa Desain Komunikasi Visual, Sekolah Tinggi Teknik Surabaya.

Fahmi yang gemar mendaki gunung ini jatuh cinta dengan Gunung Welirang sejak 2010.

Puncaknya, ia membuat film berdurasi 30 menit, tentang kehidupan penambang belerang di Gunung Welirang untuk tugas akhir kuliahnya.

Film berjudul Sulfurminer menampilkan kehidupan masyarakat yang masih tradisional.

Berlatar belakang keindahan pemandangan gunung Welirang, film dokumenter ini fokus menceritakan suka duka seorang penambang belerang bernama Sumali.

"Kehidupan di sana sangat memprihatinkan, semuanya masih serba manual, mereka membawa bongkahan batu ke pemukiman dengan medan yang sangat berkelok dan berbahaya. Belum lagi wilayah tambang yang sempit. Itu kan dibagi, berapa meter sekian punya si A, sekian si B, dan seterusnya," ujarnya prihatin, Jumat (5/8/2016).

Fahmi menuturkan dirinya sempat ditolak bahkan diusir karena dianggap menggangu.

Usahanya tak surut, dia berusaha mendekati warga dengan sering datang ke warung kopi di sekitar pos peristirahatan para penambang.

"Setelah beberapa kali pendekatan akhirnya saya bertemu salah satu dari ketua para penambang, pak Sumali itu," akunya senang.

Dari Sumali, Fahmi mendapatkan informasi susahnya mengumpulkan rupiah dengan menjadi penambang.

Berharap mendapatkan hasil tambang besar mereka mendaki di pagi buta, dan memikul berat belerang menyusuri jalan sempit, menurun, dan curam.

"Itu per kilo dihargai Rp 2000. Itu nggak sepadan dengan bahaya yang mengancam nyawa mereka. Pak Sumali bilang gigi para penambang keropos, karena sering menghirup asap belerang," ujarnya terharu.

Tak hanya sulit melakukan pendekatan dengan masyarakat sekitar, Fahmi harus berjuang membawa beban berat keperluan shooting.

"Saya nggak sendiri, bersama beberapa teman yang membantu. Hampir enam bulan seluruh prosesnya, merekam bintang jatuh aja sampai tiga hari. Bukannya apa-apa, ini supaya hasilnya bagus, menarik ditonton untuk masyarakat luas. Sehingga pesan tentang kemanusiaan, hidup yang sangat tergantung dengan pertambangan, bisa tersampaikan," terangnya.

Baca selengkapnya di Harian Surya edisi besok
LIKE Facebook Surya - http://facebook.com/SURYAonline
FOLLOW Twitter Surya - http://twitter.com/portalSURYA

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved