Resensi
Oei Hiem Hwie, Sukarnois yang Terbuang dan Penyelundup Naskah Pramoedya Ananta Toer
#SURABAYA - Menyandang status wartawan, Hwie bisa bertemu sekaligus ngobrol dengan tokoh pujaannya, Presiden Soekarno.
Judul Buku : Memoar Dari Pulau Buru Sampai Medayu Agung
Penulis : Oei Hiem Hwie
Penerbit : PT Wastu Lanas Grafika
Cetakan : Pertama, September 2015
Tebal : x + 258
Resensi oleh Eko Darmoko
Pengalaman hidup seseorang bisa menjelma mozaik sejarah penting bagi sebuah negeri. Meskipun bersifat sangat pribadi; toh pengalaman hidup ini menjadi warna tersendiri, pelengkap, bahkan pelurusan terhadap sejarah yang sering dibelokkan penguasa. Hal inilah yang tampak pada Memoar Oei Hiem Hwie, Dari Pulau Buru Sampai Medayu Agung.
Bagi Pak Hwie (sapaan akrab Oei Hiem Hwie), dua lokasi yang disebut dalam judul; Pulau Buru dan Medayu Agung, adalah suaka kenangan melankolik sekaligus sentimentil bagi perjalanan hidupnya, serta bagi perjalanan negeri yang sangat dicintainya, Indonesia. Ya, Indonesia adalah negara dan kebangsaan yang diperolehnya secara susah payah dan getir. Hwie ngotot menjadi Orang Indonesia meskipun ia adalah putra dari seorang papa kelahiran Nan An, Hokkian, Tiongkok.
Memoar ini, di bagian pertama, Hwie memugar kenangan masa kanak-kanaknya di Kota Malang ketika zaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, dan awal Kemerdekaan Republik Indonesia. Menjalani tiga sekuel zaman ini, tentunya bukan perkara mudah bagi seorang bocah yang berasal dari kaum ‘minoritas’ Tionghoa. Di Kota Malang, Hwie kecil selalu dihantui dengan kejadian-kejadian mengerikan, terutama ketika kekuatan fasis Jepang menguasai negeri ini.
“Seorang penjual kue klepon yang ketika berjualan selalu berteriak ‘klepon, klepon,..’ harus menerima tamparan… Nasib sama juga terjadi pada seorang penjual kue jipang, mukanya dipukul sampai hancur…” (hlm. 20).
Klepon dan jipang adalah kue tradisional. Klepon berbahan dasar tepung beras, sedangkan jipang berbahan dasar beras ketan. Penyebutan ‘klepon’ yang mirip dengan ‘Nippon’, dan penyebutan ‘jipang’ yang mirip dengan ‘Jepang’ membuat tersinggung serdadu-serdadu Jepang kala itu.
Bagian kedua memoar, Hwie yang sudah remaja mulai tumbuh kesadaran politiknya. Tahun 1954, Hwie memutuskan berkecimpung dalam organisasi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Menurut Baperki warga negara hanya satu yaitu warga negara Indonesia, tak peduli keturunan apa pun.
Di kemudian hari, Hwie melewati masa-masa ‘menyenangkan’ ketika menjadi wartawan di Harian Trompet Masjarakat. Menyandang status wartawan, Hwie bisa bertemu sekaligus ngobrol dengan tokoh pujaannya, Presiden Soekarno.
“Dalam kesempatan berada di Istana seperti itu, saya bisa melihat hal-hal kecil pada diri Bung Karno yang mungkin tak banyak diketahui masyarakat banyak. Misalnya, pernah saat saya wawancara dengannya, karena udara panas, dia hanya mengenakan kaos singlet putih yang bagian punggungnya sobek.” (hlm. 99).
Masa kelam Hwie diceritakan di bagian ketiga memoar. Di masa ini ia harus hidup dari penjara ke penjara; di Kamp Gapsin Batu, Penjara Lowokwaru Malang, Penjara Koblen Surabaya, Penjara Nusakambangan, dan delapan tahun yang melelahkan dibuang di Pulau Buru, Maluku.
Masa kelam ini terjadi setelah peristiwa berdarah Gestok 1965. Hwie yang dulu pernah menjadi pengurus Baperki dan wartawan Trompet Masjarakat ditangkap aparat. Alasannya, Baperki dan Trompet Masjarakat yang pro-Soekarno juga disinyalir memiliki kemesraan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Demikian cepatnya pihak tentara menyatakan bahwa PKI sebagai dalang penculikan para jenderal, membuat saya berpikir bahwa semua itu sudah direkayasa. Penculikan dan pembunuhan para jenderal adalah bagian dari skenario besar untuk menghancurkan komunis dan kaum progresif revolusioner lainnya.” (hlm. 117).
Menjalani hukuman di Pulau Buru sebagai orang buangan di zaman Orde Baru, Hwie banyak mengalami kejadian keras. Ia bersama ribuan tahanan politik (tapol) lainnya harus melakukan serangkaian kerja paksa seperti membuka hutan untuk lahan pertanian, membuat jalan, membangun desa, dan mengalami siksaan fisik oleh tentara. Beruntung, siksaan yang dialami Hwie tidak separah yang dialami tapol lainnya.