Sastra
PUISI - Bukan Ihwal Harum Kuntum Amaryllis
Kita tak membahas harum kuntum kembang Amaryllis yang ramai disinggung di sudut kota lain di negeri ini.
Penulis: Aflahul Abidin | Editor: Yuli
Lima belas menit aku memandangmu di keheningan.
Remang api lilin menengahi wajah kita.
Parasmu yang manis itu menguning.
Bayang-bayang sekitar hidungmu mengikuti lirih gerak angin yang membelai titik cahaya.
Seperti biasa, kita tak banyak bicara.
Matamu berbinar-binar sambil memandang cangkir kopi arabika.
Kita tak bersulang. Ini bukan pesta.
Tapi di balik titik pupil mata itu, kutemui keramaian dan keteduhan jiwa.
Kita tak membahas harum kuntum kembang Amaryllis yang ramai disinggung di sudut kota lain di negeri ini.
Kita tak mengacuhkan suara minor detuk sepatu di lantai licin.
Kita hanya duduk saja, sembari tanpa sengaja menyelaraskan pandangan mata.
Kau gesekkan dua tangan seakan takut hawa dingin.
Aku diam menahan batin berharap waktu tak lekas berakhir.
Akhirnya, setitik kopi kau seruput juga. Sudah tak begitu panas. Ya, tentu saja.
Kini, bibirmu mengkilap bak kilau permata.
Ah, alangkah cantiknya!
Bunyi hela panjang nafasmu membekukan waktu.
Kau mulai mengintip arloji di pergelangan tangan kiri.
Aku tentu belum ingin beranjak.
Ini lima belas menit yang berharga antara aku, kau, dan cahaya.
Aflahul Abidin, 2016