Video
VIDEO - Antara Bung Karno - Kennedy dan Jokowi - Obama
Dalam kunjungan ini ada 20,5 miliar US dollar yang ditandatangani, diinvestasikan oleh Amerika," kata Pramono Anung.
SURYA.co.id | JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan tetap berkunjung ke Amerika Serikat meski dipercepat, demi melakukan koordinasi bencana asap yang terjadi di tanah air.
Menurut Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, kunjungan menemui Presiden Barack Obama dan sejumlah pelaku bisnis di sana sangat penting, mengingat rencana investasi Amerika Serikat di Indonesia yang mencapai 20,5 miliar dolar AS.
"Kunjungan ke Amerika mempunyai arti yang strategis karena bagaimanapun Indonesia sebagai negara yang menganut (politik luar negeri) bebas aktiv sebagai prinsip yang diwariskan oleh Bung Karno tentunya kunjungan ke Amerika ini mempunyai makna yang signifikan sekaligus menepis bahwa Indonesia mempunyai jarak dengan Amerika karena dalam kunjungan ini ada 20,5 miliar US dollar yang ditandatangani, diinvestasikan oleh Amerika," kata Pramono Anung di Jakarta, 30 Oktober 2015.
Pramono Anung dalam video dari kantor berita ANTARA di atas menyatakan, politik luar negeri bebas aktiv merupakan warisan Bung Karno atau Soekarno atau Sukarno.
Pernyataan itu bertentangan dengan reputasi politik luar negeri Bung Karno yang sama sekali tidak condong ke Amerika.
Sejak zaman pendudukan Jepang, Bung Karno terkenal dengan semboyannya, "Amerika kita setrika, Inggris kita linggis."
Setelah Indonesia merdeka, Bung Karno pada Mei 1956 memang ke Amerika dan bertemu Presiden Dwight Eisenhower.
Selanjutnya, pada April 1961, Bung Karno juga ke Amerika bertemu Presiden John F Kennedy.
Tetapi, ketika Amerika mendikte, Bung Karno berkata lantang, "Go to hell with your aid". Amerika kudu pergi bersama pinjaman uang yang disebutnya bantuan.
Dan, nyata-nyata, pendulum politik Indonesia di bawah Bung Karno lebih condong ke Uni Soviet selain China.
Lagi pula, politik luar negeri bebas aktiv bukan dicetuskan oleh Bung Karno, melainkan oleh Bung Hatta.
Gagasan politik bebas aktif itu mula-mula disampaikan Bung Hatta dalam sidang BPKNIP 2 September 1948.
“Ini tidak berarti bahwa kita tidak akan mengambil keuntungan daripada pergolakan internasional,” kata Bung Hatta saat itu.
Pidato lengkap Bung Hatta itu kemudian diterbitkan dalam buku berjudul “Mendayung di antara Dua Karang” yang merujuk pada posisi Indonesia di antara dua negara adidaya, Amerika Serika dan Uni Soviet.