Minim Komponen Impor, Elektronik Maspion Mampu Bertahan
"Kami punya anak-anak perusahaan yang mendukung usaha manufaktur elektronik. Sehingga bahan baku impornya hanya sekitar 20 persen," kata Alim Markus.
Penulis: Sri Handi Lestari | Editor: Parmin
SURYA.co.id | SURABAYA - Melonjaknya nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga mencapai lebih dari Rp 14.000, membuat industri elektronik Maspion Group tetap bertahan. Hal itu dikarenakan bahan baku yang mayoritas dari lokal.
"Kami punya anak-anak perusahaan yang mendukung usaha manufaktur elektronik. Sehingga bahan baku impornya hanya sekitar 20 persen," kata Alim Markus, CEO Maspion Group, Senin (24/8/2015).
Lebih lanjut, Alim menyebutkan, salah satunya ada pada komponen kipas angin. Untuk motor kipas angin, pabrik Maspion sudah memiliki kemampuan membuat sendiri. Hanya sebagian komponen di dalamnya yang pakai bahan impor.
"Termasuk elemen panas di dalam setrika, kami juga sudah bisa buat sendiri. Tidak banyak yang impor untuk elektronik," lanjutnya.
Masalah yang menghadang untuk pembelian bahan baku impor, lanjut Alim Markus bukan dari nilai tukar uang dolar. Tapi lebih ke masalah kepabeanan yang umumnya sangat menghambat. Seperti dwelling time, dan pemeriksaan zona merah di mana, sebagai industri, produk impor untuk bahan baku harus menjalani pemeriksaan yang lama dan antre.
Ini membuat biaya membengkak akibat bongkar, muat, sewa gudang dan lain sebagainya. Itu terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, yang masih jauh dari pabrik di Sidoarjo.
"Silakan periksa kalau barangnya sudah di pabrik. Kami terbuka, karena hambatan di kepabean itu juga berimbas pada kinerja sumber daya tenaga yang di pabrik," tandasnya.