Tak Kompak, Anak Autis Bisa Jadi Pemicu Perceraian
Banyak orangtua stres karena anaknya menderita autis. Meski hal ini wajar, namun orangtua sebaiknya segera bersama menghadapi kenyataan itu.
Penulis: Achmad Pramudito | Editor: Achmad Pramudito
SURYA.co.id | SURABAYA - Punya anak berkebutuhan khusus tentu bukan hal mudah. Namun, sejak awal Vika Wisnu tak pernah menyembunyikan kondisi anaknya tersebut. Dia juga tak pernah memproteksi anaknya itu dari lingkungan.
Wanita yang pernah bekerja di sebuah stasiun radio ini mengungkapkan, dia mengetahui Aska menderita autis saat anaknya itu berusia dua tahun. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan medis, dokter menyatakan Aska keracunan timbal dan berakibat autis.
“Autis itu pasti karena racun logam berat. Kalau tidak timbal biasanya merkuri. kalau Aksa keracunan timbal tinggi,” papar Pemimpin Redaksi Padmagz ini.
Sejak itu pula perempuan kelahiran 3 Maret 1974 ini getol menggemakan gerakan peduli autis. Lulusan S1 FISIP Universitas Airlangga (Unair) ini aktif pula menyelenggarakan kegiatan bersama orangtua yang anaknya menderita sakit yang sama.
Memang tak mudah. Karena di awal kegiatannya, Art for Autism ini nyaris tak ada yang merespons. “Tapi di kegiatan berikutnya orangtua langsung merespons. Mereka kini merasa punya teman dan tidak sendirian dalam kondisinya tersebut,” ujar dosen Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya ini.
Menurut Vika, dia sebetulnya juga merasakan seperti yang dirasakan banyak orangtua lain saat mengetahui sang anak menderita autis. “Stres tentulah. Tapi jangan terlalu lama stresnya. Kita harus segera bangkit untuk anak kita,” pesan Vika yang gelar S2 nya di Ilmu Komunikasi (FISIP) juga diperoleh dari Unair.
Ditekankan anak kelima dari enam bersaudara ini, banyak ‘pekerjaan rumah’ yang harus dilakukan orangtua penderita autis, baik dalam bentuk terapi diet maupun terapi perilaku bagi sang anak. Dan hal itu tak bisa dilakukan sendirian.
“Artinya, ayah si anak harus turut serta dalam setiap kegiatan terapi sang anak. Tetapi, biasanya ayah malu punya anak autis,” kata Wakil Ketua Yayasan Advokasi Sadar Autisme.
Orangtua yang tidak bisa kompak dalam membimbing anak autis, lanjut Vika, membuat anak lebih lama terkoreksi. Vika pun menyayangkan, pasangan yang tak bisa menjaga kekompakan melakukan terapi pada sang anak ini berakhir ke perceraian.
Beban orangtua penderita autis memang cukup berat. Selain moral, juga akan menghabiskan banyak materi untuk terapi sang anak. “Kalkulasinya sekitar Rp 7 juta/anak/bulan. Itu pun belum tentu hasil langsung kelihatan,” urai Vika yang belakangan sibuk memersiapkan workshop untuk shadow teacher (guru pendamping bagi anak autis).