Lipsus Menguji Klaim Tembakan Polisi
Tahanan Ini Penasaran Wajah Polisi Penembak Kakinya
Menunggu antrean di depan klinik, Jamali lebih banyak duduk. Posisi itu dipilih agar bisa mengurangi beban.
SURYA Online, SURABAYA - Pria yang baru menginjak usia 21 tahun ini minta dipanggil Jamali. Itu hanya nama panggilan untuknya di tahanan.
Menunggu antrean di depan klinik, Jamali lebih banyak duduk. Posisi itu dipilih agar bisa mengurangi beban.
Selain itu juga untuk mengurangi nyeri kaki kannya yang terluka. “Sekadar menekuk kaki kanan saja sakit,” katanya.
Warga Dupak ini lalu bercerita seputar luka tembak yang dialaminya. Warga Dupak ini mengaku pernah masuk komplotan pencuri kendaraan bermotor (curanmor).
Komplotannya beranggotakan empat orang. Kebanyakan beraksi di Surabaya Utara.
Jamali kebagian peran sebagai joki, atau melarikan motor yang berhasil dicuri.
“Bulan Juli lalu polisi berhasil menangkap teman saya, kemudian nama saya dicokot sama dia,” ungkap Jumali.
Lulusan SMA yang bekerja di Pelabuhan Tanjung Perak ini di tangkap malam hari di Balongsari. Setelah ditangkap tangannya diborgol dan mata ditutup.
Polisi kemudian memasukkannya ke mobil, yang selanjutnya membawanya.
“Bilangnya akan dimintai keterangan, terus dibawa ke Polrestabes (Surabaya). Saya tidak tahu dibawa ke mana, karena mata saya ditutup lakban,” kisah Jamali.
Hingga di suatu tempat, Jamali tidak mendengar suara keramaian. Yang terdengar hanya para polisi suara obrolan sesama polisi yang menangkapnya, plus deru mobil yang membawanya.
Satu polisi menuntunnya turun, dengan alasan sudah sampai di kantor polisi.
Jamali lalu diminta berhenti dan berdiri. Beberapa saat suasana senyap. Tiba-tiba terdengar suara letusan pistol.
Sebuah peluru melesak di betis kanan Jamali, dan bersarang di dalam tulang.
Tembakan itu juga membuat Jamali tumbang. Dalam keadan mata dilakban dan tangan diborgol, Jamali meraung-raung menahan rasa sakit.
“Lakban di mata baru dibuka saat di rumah sakit,” ujarnya.
Di rumah sakit luka tembak itu hanya dijahit tanpa diobati. Setelah dijahit, petugas medis membalut luka dengan perban yang ketat. Namun darah sulit dihentikan dan terus merembes.
Selama dalam penahanan polisi, Jamali hanya diberi obat penahan nyeri untuk tiga hari.
Jamali sempat mengajukan izin untuk operasi mengeluarkan peluru dari betisnya.Tapi polisi hanya menyanggupi.
Proyektil peluru tersebut terus bersarang di kakinya selama dua bulan. Panas dingin menahan sakit kakinya yang mulai infeksi.
“Rasanya ya gak karu-karuan. Sering panas dingin karena infeksi, serta ngilu karena pelurunya belum diambil,” katanya.
Akibat tembakan itu, tulang kering Jamali retak. Setelah dibawa ke rumah tahanan, pihak rutan mengizinkannya operasi. Dengan uang Rp 500.000, peluru tersebut berhasil dikeluarkan dari dalam kakinya.
Selama menjalani hukuman, kaki Jamali masih dalam keadaan retak. Keluarga tidak sanggup lagi untuk melakukan pengobatan.
Jamali beralasan, dokter bilang retak tulangnya akan pulih dengan sendirinya, karena masih tulang muda.
Saat ini Jumali terus menjaga, agar kakinya yang terluka tidak menerima pembebanan.
Namun karena kurang bergerak, kakinya mulai mengecil. Jamali berharap, tulangnya kembali pulih agar bisa melatih kekuatan ototnya.
“Kalau gak dilatih, akan terus mengecil. Sebisanya saja digerakan agar ototnya tidak diam,” ucapnya.
Tapi Jamali mengaku masih beruntung karena polisi masih berbelaskasihan. Setidaknya tembakan polisi tidak sampai merenggut nyawanya.
“Waktu itu saya sudah nyerah dan memang tidak bisa kabur. Kalau saja waktu saya melawan atau berusaha kabur, ya mungkin bukan kaki yang ditembak, tapi badan atau kepala, dan mati,” pungkasnya.
Jamali yang saat kejadian matanya ditutup, mengaku hingga masih penasaran dengan wajah polisi yang menembaknya.
"Saya pingin sekali tahu. Bukan untuk membalas dendam, tapi ya biar tidak penasaran saja,” katanya. (tim lipsus surya)
Baca selengkapnya di Harian Surya edisi besok
LIKE Facebook Surya - http://facebook.com/SURYAonline
FOLLOW Twitter Surya - http://twitter.com/portalSURYA