Bedah Buku Henri Nurcahyo
Rekayasa Dongeng Dalam Bencana Lumpur Lapindo
Bedah buku "Rekayasa Dongeng Dalam Bencana Lumpur Lapindo", milik Henri Nurcahyo, di Gedung Wahana Ekspresi Poesponegoro, Minggu (13/4/2014).
Penulis: Sugiyono | Editor: Parmin
SURYA Online, GRESIK - Komunitas Masyarakat Pecinta Sejarah dan Budaya Gresik (Mataseger), menggelar bedah buku berjudul "Rekayasa Dongeng Dalam Bencana Lumpur Lapindo", milik Henri Nurcahyo, di Gedung Wahana Ekspresi Poesponegoro (WEP) Jl Jaksa Agung Suprapto, Minggu (13/4/2014).
Kepada masyarakat yang hadir dalam bedah buku tersebut, Henri menjelaskan asal-usul nama buku tersebut. "Dulu Saya senang sejarah dan antropologi. Saya juga anggota Asosiasi Tradisi Lisan. Karena warga Sidoarjo, kemudian saya otak-atik keberadaan lumpur lapindo dari sudut pandang budaya dan kearifan lokal," kata Henri, saat menjawab pertanyaan pengunjung.
Dalam diskusi fenomena bencana lumpur lapindo tersebut, Henri tidak menyinggung soal keberadaan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). "Saya tidak tahu uangnya BPLS. BPLS sudah tidak membela rakyak. Apakah di BPLS ada uang yang dihabiskan sendiri apa tidak, saya tidak tahu," imbuhnya.
Menurut Henri, dari buku yang telah diterbikan ini menjadi refrensi beberapa profesor yang ingin menulis dari sudut pandang antropologi dan budaya.
"Buku ini menjadi rukukan bagi profesor-profesor yang ingin mendalami tentang lumpur dari segi budaya," katanya.
Ketua Mataseger, Kris Adji AW, mengatakan buku tentang Rekayasa Dongeng Dalam Bencana Lumpur Lapindo sangat penting bagi masyarakat yang ingin mendalami tentang budaya.
"Orang bilang, Kalau tidak membaca buku ini sangat rugi. Karena itu, kita bedah di sini," kata Kris, saat menjadi moderator dalam bedah buku tersebut.
Kris menambahkan, dengan bedah buku tentang kearifan lokal ini bisa memberi semangat generasi muda untuk menulis sehingga kebudayaan di Kabupaten Gresik ini dapat ditulis. "Budaya itu penting. Bangsa besar itu bangsa yang tidak melupakan sejarah dan budaya," katanya.