Obat Lebihi Harga HET, Laporkan
Penjualan obat di apotik selama ini sudah diatur ketat dan mendapat pengawasan dari Departemen Kesehatan (Depkes) dan BPOM.
Penulis: Sri Handi Lestari | Editor: Parmin
SURYA Online, SURABAYA – Penjualan obat di apotik selama ini sudah diatur ketat dan mendapat pengawasan dari Departemen Kesehatan (Depkes) dan Balai Pngawasan Obat dan Makanan (BPOM). Juga dari Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Indonesia. Terutama soal harga dan kualitas dari obat-obatan tersebut.
Hal ini diungkapkan Paulus Totok Lusida, Ketua Umum GP Farmasi Indonesia Jawa Timur terkait adanya dugaan mark up harga obat di apotik-apotik. “Sampai saat ini, kami belum adanya laporan apotik yang menjual produk obat melebihi HET (Harga Eceran Tertinggi). Karena kalau ada yang menjual melebihi HET, silakan dilaporkan, karena itu sudah menyalahi aturan,” jelasnya, Selasa (29/10/2013).
Lebih lanjut, Paulus menyebutkan, HET ini sudah terpasang jelas di setiap bungkus obat yang dijual di apotik. Sehingga bisa dilihat dan terbaca oleh pembeli. “Harga obat yang dijual sudah ada patokannya. Dan semua harga yang menentukan adalah Depkes. Rumusnya, HNA (harga netto apotek) plus PPN plus 34 persen. Ini merupakan HET (Harga Eceran Tertinggi),” jelasnya.
Di Jatim, sejauh ini harga obat rata-rata masih di bawah HET. Biasanya, aptek di Jatim menentukan harga hanya HNA plus PPN plus 10 persen. Dan harga jual obat itu sudah termasuk pendapatan apoteker dan apotek. Yakni diambilkan dari prosentasi tambahan maksimal 34 persen tersebut. “Dengan demikian, apotek atau apoteker tidak bisa melakkan monopoli. Apalagi menjadi makelar untuk menjual atau melakukan markup harga obat,” lanjut Paulus.
Tak hanya itu, bila ada laporan dari masyarakat tentang apotik yang menjual obat diatas HET, maka apotik itu sudah termasuk dalam pelanggaran dan akan mendapatkan sanksi hingga penutupan operasional apotik. Hal ini sudah disepakati dengan Depkes, BPOM, dan GP Farmasi Indonesia.
Saat ini di Jawa Timur ada sebanyak 600 apotek. Dari jumlah itu, 300 apotek berada di Surabaya, sedangkan lainnya tersebar di seluruh daerah. Sementara produsen obat di Jatim sejauh ini ada sekitar 50 perusahaan, dan PBF (pedagang besar farmasi) atau distributor obat ada sebanyak 200. Bagi GP Farmasi Indonesia sendiri, ketentuan itu sangat mereka ikuti, karena bisa mengurangi persaingan usaha antar apotik.
“Jadi kalau ada masyarakat yang mengalami atau mendapati penjualan obat melebihi HET, kami tunggu laporannya. Kami terbuka untuk itu,” tandas Paulus.