Kerja Keras Sukisno Ubah Ejekan Jadi Pujian

Penulis: Cak Sur |
[caption id="attachment_205634" align="alignleft" width="300" caption="CALON HAJI - Sukisno alias Novi (kiri), waria asal Bojonegoro segera berangkat haji tahun ini. Foto: surya/m taufik"][/caption] Dari 1.221 jemaah calon haji asal Bojonegoro yang berangkat musim ini, ada satu yang unik. Dia adalah Sukisno, pemilik salon kecantikan asal Dusun Gongseng, Desa Mori, Kecamatan Trucuk. M Taufik Bojonegoro Sukisno bukan pria sembarangan. Dia adalah waria dengan nama beken Novi. Nama itu pula yang digunakan Sukisno untuk menamai salonnya, Novi Salon, tempat usaha yang turut mengangkat derajat ekonominya. Perjalanan haji ke Tanah Suci tahun ini adalah buah kerja keras Sukisno sebagai penata rambut dan kecantikan bersama Novi Salon yang terletak di Jl Veteran, tak jauh dari Terminal Rajekwesi Bojonegoro. Di salon itu, Rabu (12/10) siang Sukisno dan pegawainya melayani pelanggan. Saat ditemui Surya pun Novi sedang menata rambut seorang pelanggan perempuan. “Silakan duduk mas,” jawab Sukisno saat melihat kedatangan Surya, tanpa kehilangan konsentrasi pada rambut perempuan di depannya. Beberapa menit kemudian, Sukisno rampung menggarap rambut pelanggannya. Lalu ia beranjak menuju kursi panjang yang biasanya digunakan pelanggannya menunggu giliran dilayani. Ia pun mulai bertutur tentang kehidupannya, tentang keberadaannya sebagai waria dan cita-citanya membawa kedua orangtuanya ke Tanah Suci. Bersama ayahnya, Tukikaman (68), Novi menunaikan ibadah haji bersama Kloter 61 dari Bojonegoro pada 22 Oktober 2011. Sang ibu, Sampurah meninggal sejak Sukisno lulus SD. “Saya lahir dari keluarga tidak mampu di Dusun Gongseng. Ayah saya hanya seorang petani biasa,” ungkap penggemar musik dangdut ini sambil melipat beberapa kain putih yang baru dibelinya untuk baju saat berhaji nanti. Karena ketiadaan biaya, Sukisno tidak melanjutkan ke SMP, tetapi jadi penggembala sapi tetangganya. Setelah empat tahun ia diupah dua ekor pedhet (anak sapi). Itu menyadarkan Sukisno, ia bisa sukses. Menjelang usia 20 tahun, Sukisno hijrah ke Surabaya. Karena hanya lulusan SD, waria berbadan gempal ini tidak diterima di mana-mana. Sampai akhirnya ia ditampung di Salon Apple milik Jane Budianto di Jl Kenikir Surabaya. Di salon itu Sukisno bekerja sambil mempelajari bisnis salon sekaligus ilmu kecantikan dari Jane. Selama sembilan tahun mempersiapkan diri untuk mandiri. “Saya bekerja di salon itu sembilan tahun. Dan Jane Budianto adalah majikan sekaligus guru yang mengajarkan berbagai hal,” ujarnya. Tahun 2000 ia berhenti dari Salon Apple dan kembali ke kampung. Ia menyewa tempat di Jl Diponegoro. Kerja kerasnya berlanjut. Ia mengumpulkan modal dengan berhemat dan tidak berhura-hura. Hasilnya, setahun lalu ia membeli tanah di Jl Veteran dan membangun gedung dua lantai. Lantai pertama untuk salon dan lantai dua untuk rumah tinggal. Usahanya maju dengan meraup pendapatan antara Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per hari. “Saya hanya bisa terus bersyukur atas rezeki dari Tuhan,” tuturnya. Kesuksesan itulah yang kemudian mendorongnya untuk berangkat ke Tanah Suci dengan mengajak ayahnya. Kerap diejek Meski lahir sebagai seorang lelaki, lagak laku Sukisno adalah perempuan. Ia mengaku lebih nyaman bergaul dengan perempuan ketimbang sesama lelaki. Bahkan, untuk mengenakan pakaian juga diakuinya lebih nyaman memakai pakaian perempuan. “Dari lima saudara saya, cuma saya yang seperti ini (feminin),” akunya. Sifat feminin itu sudah dirasakannya sejak kecil, meski saat itu ia tidak berani menunjukkan pada orang-orang sekitarnya. Namun tetap saja ia tampak berbeda dari teman-teman lelakinya dan itu menjadikan Sukisno sasaran ejekan. “Saat masih di desa, saya sebenarnya sudah merasakan semua itu. Tapi, saat itu saya sama sekali tidak berani mengungkapkannya,” urainya. Tetapi semakin dewasa, lagak kemayu itu tidak bisa lagi ditahannya. Dan, ia merasa benar-benar lepas dari belenggu ketika hijrah ke Surabaya, tempat ia menemukan komunitasnya. Ia jadi berani berpakaian perempuan dan menggunakan nama Novi untuk mempertegas identitas warianya. Yang membedakan Sukisno dengan waria umumnya, ia tidak pernah nongkrong di pinggir jalan untuk menjajakan diri. "Saya terus bekerja keras di salon untuk mendapat uang guna mencukupi kebutuhan dan membahagiakan orangtua,” kata waria berambut ikal ini. Meskipun ia sudah bisa membawa uang tiap kali pulang ke desa untuk orangtua dan adik-adiknya, keluarga Sukisno tidak begitu saja mau menerima keadaan yang berbeda itu. Namun, seperti ia bekerja keras, ia pun berupaya sekuat tenaga untuk membuktikan bahwa ia mendapatkan uang dengan bekerja keras dan halal. Lambat laun, seiring berjalannya waktu, orangtua dan adik-adiknya bisa menerima kewariaan Sukisno. Apalagi, kenyataannya sumbangan Sukisno lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga itu. “Satu hal yang selalu menjadi pegangan saya, orang hidup itu harus bekerja keras dan jujur untuk mencapai apa yang diinginkan. Dan saya sangat bersyukur, hasil dari kerja keras saya bertahun-tahun sudah bisa saya nikmati seperti sekarang ini,” tukasnya. “Dan satu hal lagi yang paling membahagiakan saya adalah bisa menunaikan kewajiban untuk pergi haji ke tanah suci dengan mengajak orangtua,” imbuhnya.
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved