Wongso Bertahan dengan Menjadi Debt Collector
Penulis: Cak Sur |
[caption id="attachment_181004" align="alignleft" width="300" caption="GANTI PROFESI - Wongso Indrajit saat beraksi di Malang Boxing Camp (MBC) Stadion Gajayana Kota Malang, Senin (20/6). Foto: surya/siti yuliana "]
[/caption] Bukan hanya Minto Hadi, mantan petinju profesional yang nasibnya kurang beruntung. Mantan juara tinju profesional, Wongso Indrajit pun sama, harus menerima pahitnya kenyataan bergelut dengan tekanan ekonomi yang mengimpit.
Siti Yuliana
Kota Batu
Di era 1980-an, nama Wongso Indrajit memang tidak asing di telinga para atlet olahraga nasional, bahkan internasional. Maklum, kala itu, prestasinya tengah menanjak setelah berhasil mempertahankan sabuk juara nasional Kompetisi Tinju Indonesia (KTI) kelas bantam hingga empat kali (1982-1987).
Namun, sinar kesuksesan itu ternyata tak selamanya mengikuti perjalanan hidup Wongso. Pascapensiun dari dunia tinju yang membesarkan namanya, Wongso justru mulai belajar mempertahankan hidup dari sisa-sisa tenaganya.
Semenjak ia berhenti tinju pada 1993, keponakan legenda tinju Wongso Suseno ini terpaksa mencari nafkah dengan menjadi penagih utang alias debt collector, pada sebuah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Surabaya. Diakui Wongso, ini sebagai jalan satu-satunya untuk menghidupi keluarganya.
Menjadi debt collector, ternyata tidak membuat pria yang dijuluki The Lazy (sang pemalas, red) oleh para mantan petinju itu merasa malu. Meski bekerja di bidang ini mengharuskannya keliling dari satu kota ke kota lain. “Dari Surabaya, saya bersepeda motor sampai ke Bojonegoro, Lamongan, dan Gresik. Setiap hari saya lakukan itu,” cerita Wongso yang mengaku hijrah ke Kota Pahlawan begitu tidak aktif menjadi petinju lagi.
Tapi begitulah, sebut dia, nasib mantan petinju memang ada di setiap kepalan tangan. Siapa yang teguh menahan pukulan, maka nasibnya tidak akan susah. Begitu pula yang dilakukan Wongso, saat ia tidak lagi menjadi petinju, maka segala pekerjaan dilakukan. Apalagi ada dua anak yang harus dihidupinya.
Setelah menjadi penagih utang, Wongso kembali ke Kota Malang. Pria kelahiran Kepanjen, Kabupaten Malang ini menjajal usaha baru, yaitu membuat sepatu lokal. Namun, usaha yang dijalaninya ini tidak lantas membuatnya langsung sukses. “Saya bekerja sama dengan teman saya. Dia yang mendesain dan memproduksi, sementara saya yang menjualnya."
Dengan bekal sebuah motor Honda Kharisma tahun 1990 an, Wongso berkeliling dari rumah ke rumah untuk menawarkan sepatunya. Mulai dari Malang, Kediri, Blitar, hingga ke Surabaya. “Saya ingin sukses. Saya tidak mau dianggap sebagai mantan petinju yang tidak berdaya selepas massa kemenangan saya habis,” kata ayah dari Yudhistira dan Bimo ini.
Sudah dua tahun terakhir, Wongso menjalani profesinya sebagai penjual sepatu keliling. Namun, demikian ia tidak pernah benar-benar meninggalkan dunia tinju. Seminggu sekali, ia selalu menyempatkan diri untuk berkumpul dengan mantan petinju lainnya. Ia juga kerap melatih petinju-petinju muda yang hendak bertanding di sasana tinju Stadiun Brantas.
Motor Butut
Menjadi petinju bagi seorang Wongso adalah kenangan yang tidak bisa dilupakan. Maklum, selain melahirkan prestasi gemilang, ia juga harus kehilangan bagian tubuhnya. “Hidung saya jadi seperti ini karena kena pukulan lawan. Tulangnya patah dan membuatnya rata,” tutur Wongso sambil menunjukkan hidungnya.
Memang, bila diamati, banyak bekas luka di wajahnya. Selain hidungnya, ternyata di bagian mulut dan giginya, menyebar bekas pukulan. Bahkan, beberapa jahitan di pelipisnya juga masih membekas.
Di usianya yang setengah abad ini, Wongso mengaku tidak memiliki apa-apa selain motor butut. Kemana-mana, ia ditemani motor yang sudah tidak berlampu ini. “Saya sering dimarahin dan hampir ditabrak orang bila menggunakan motor ini,” kisahnya.
Dilengkapi helm tua berwarna biru, ia mengendarai motor hitamnya dengan sangat pelan. Karena tidak dilengkapi lampu, Wongso harus melambaikan tangannya setiap kali hendak belok.
Meskipun begitu, ia sangat menyayangi motornya. Ini adalah motor kenang-kenangan sewaktu masih jadi petinju dulu. Uang dari pertandingan, sengaja ia simpan hanya untuk membeli motor ini.
Ironis memang. Nama besar Wongso sebagai petinju tak sebanding dengan kehidupan ekonominya. “Meskipun nama saya dulu terkenal, tapi kehidupan ekonomi saya pas-pasan. Saya belum punya rumah dan harus pindah pindah kos bila ada kos yang harganya lebih murah,” ceritanya.
Namun, Wongso tidak pernah menyalahkan keadaan. Ia sejak awal menyadari bahwa tinju adalah hobinya. Bila sudah tua dan tidak bertenaga lagi, ia sadar dirinya akan terlempar pelan-pelan. Untuk itu, Wongso tidak pernah menyesali keadaannya. “Karena itu, saya sangat bahagia, meskipun saya hanya sebagai sales,” tandasnya.
Entah, apakah setiap petinju memang harus menerima masa depan suram, toh selain Wongso dan Minto, ada beberapa mantan petinju profesional lain juga hampir bernasib sama. Mariono Sulasmono Monod misalnya, kini ia menjadi sopir ambulans gratis PKK Kota Malang.
Kehidupan baru ini tentu berbeda dengan kehidupan Monod muda. “Sudah setahun ini saya menjalani profesi ini. Saya tidak malu, saya justru bangga,” tandas mantan petinju sasana Arema yang pernah mempertahankan gelar juara nasional KTI kelas super bantam ini.
Ada juga Romeo Surba (tukang cukur), Wongso Suseno (pengawas sebuah perumahan di Kota Malang), Juhari (PNS), Nurhuda (pelatih tinju), dan masih banyak yang lainnya. Semoga saja akhir pahit para petinju nasional ini segera berubah lebih baik, demikian pula nasib atlet-atlet tinju muda nasional.

Berita Terkait