
“Selama ini kalian bukanlah pecundang, kalian hanya tidak terbiasa juara. Tetapi saya yakin kalian bisa. Jadi mari kita tunjukkan tahun ini”. Saya mengandaikan begitu ucapan pertama Alfred Riedl saat pertama berbicara di hadapan pemain-pemain Timnas Indonesia, Mei lalu.
Riedl yang pernah melatih Austria, Palestina, Vietnam dan Laos, tahu persis. Indonesia punya tradisi kuat di sepak bola tetapi tidak punya tradisi meraih gelar. Riedl juga paham, Indonesia gemar gonta-ganti pelatih. Pendahulunya seperti Henk Wullems, Bernard Schumm, Peter White, Ivan Kolev maksimal hanya bertahan tiga tahun tanpa meninggalkan kenangan membanggakan. Hanya orang Rusia bernama Anatoli Polosin yang mampu memberikan trofi di Sea Games 1991 atau sudah berlalu 19 tahun silam.
Dalam ranah global, Indonesia tidak jauh beda dengan Timnas Inggris atau klub Real Madrid yang setiap pelatihnya ibarat duduk di kursi panas, gagal langsung pecat, tidak ada kesempaan kedua. “Melatih Inggris adalah pekerjaan paling sulit di dunia,” ujar Fabio Capello, pelatih Inggris suatu ketika.
Dan hal pertama yang dilakukan Riedl adalah mendapatkan respek pemain. Ia tahu, sukses Sir Alex Ferguson atau Jose Mourinho tidak lepas dari hebatnya mereka membangun kedekatan hubungan dengan pemain. Logikanya, soliditas yang terbangun dan pengertian emosional antar pemain, akan memudahkan team work di lapangan.
Maka, kepada Bambang Pamungkas, ia katakan. “Kamu tetaplah leader di tim ini meskipun karena strategi saya mungkin tidak memasukkan kamu dalam starting XI". Lalu, kepada Irfan Bachdim juga Christian Gonzales. “tunjukkan bahwa negara ini tidak salah memilih kalian”.
Riedl juga menunjukkan bahwa dalam urusan tim, dialah bosnya. Tidak boleh ada intervensi dari siapapun. Dia orang pertama yang berteriak keras melarang pekerja infotainment melakukan wawancara pemain atau juga fans yang narsis meminta foto bareng di hotel. Riedl juga melarang pemain berhubungan badan dengan istri atau bertemu keluarga di kamar hotel dan mewajibkan tepat waktu saat jadwal makan bersama.
Melihat karakter disiplin Riedl, saya teringat sosok Sean Porter, pelatih football America di film Gridirion Gang yang tayang 2006 lalu. Porter diperankan Dwayne Johnson yang ngetop sebagai
The Rock di acara gulat bebas, WCW. Dwayne cukup piawai menghidupkan sosok Porter sebagai pelatih yang keras, bersahabat dan punya kalimat-kalimat hebat untuk memotivasi timnya.
Dihadapkan pada tugas berat membantu anak-anak bermasalah keluar dari masalahnya, Porter percaya football bisa membuat mereka jadi lebih punya tanggung jawab, dekat satu sama lain dan menjadi juara.
“
You are all losers, But if you stick with the program you could all be winners at the end.,” ujar Porter, saat meyakinkan pemainnya bahwa mereka bisa menjadi pemenang, bukan pecundang.
Tentu saja, layaknya film-film genre seperti ini, kisah ini dibangun dari awal keterpurukan saat tim Mustang dibantai 38-0 di laga pertama. Dicemooh, depresi dan tidak percaya diri, mereka lantas bangkit, berlatih keras, lebih dekat satu sama lain dan akhirnya menang atas lawan yang sama yang meng-KO mereka 38-0, di laga final
Adegan terbaik film ini ketika Porter hendak membesuk ibunya yang tengah sakit keras di rumah sakit di saat jadwal latihan tim. Penasaran karena tidak ada staupun pemain berlatih, Porter lantas masuk ke kamar ganti pemain. Di sana, ia mendapati pemainnya sudah menyiapkan rangkaian bunga untuk ibunya. “semoga dia cepet sembuh dan bisa melihat kami bermain,” ujar salah seorang pemain. Adegan ini menyentuh karena dilakukan sekumpulan berandalan yang sebelumnya bahkan tak pernah peduli pada orang lain.
Kembali ke Riedl, saya percaya dia bisa menjaga fokus Firman Utina dan kawan-kawan jelang final. Saya juga percaya Riedl bisa mengingatkan timnya untuk tidak menyepelekan Malaysia dengan menyebut Malaysia yang akan dihadapi di final nanti sudah jauh berbeda dari tim Malaysia yang diganyang 5-1 di fase grup, 1 Desember lalu.
Sebagai orang Austria, Riedl pastilah tahu kiprah hebat Timnas tetangga negara asalnya, Hungaria. Di era 50-an, Hungaria memiliki tim menakutkan dengan pemain seperti Ferenc Puskas, Sandor Kocsis, Jozsef Bozsik yang populer dengan sebutan
Magical Magyars (
The Golden Team). Mereka mencatat rekor tak terkalahkan di 31 pertandingan. Tetapi, Puskas dan kawan-kawan gagal memenangi Piala Dunia 1954 dan hanya menjadi runner-up setelah kalah 2-3 dari Jerman Barat. Padahal, di fase grup, Hungaria mampu menang telak 8-3 atas Jerman Barat.
Itu pelajaran bagi Timnas kita. Tentu saja, saya tidak berharap nasib Hungaria di PD 1954 lalu terjadi pada Indonesia di final Piala AFF 2010 nanti (*)
*tulisan ini saya buat setelah Timnas memastikan lolos ke final Piala AFF 2010, Minggu (19/12) dan kini bersiap menghadapi Malaysia di final pada 26/12 dan 29/12