Kehidupan Pengungsi Sampit di Pasar Keputran (1-7)
Penulis: Yuli |
Pengantar: Inilah naskah reportase wartawan Harian Surya, Marta Nurfaidah, yang memenangi Anugerah Adiwarta Sampoerna (AAS) tahun 2008. Reporter dari Jombang itu juara pertama reportase features kategori humaniora bidang sosial.
Jumat, 11 Januari 2008
*Kehidupan Pengungsi Sampit di Pasar Keputran (1)
Matdu’i Sungguh Menikmati Kampung Kecil Itu
Konflik antar etnis yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah, pada Februari 2001 membuat masyarakat etnis Madura harus mengungsi. Pulang ke tanah leluhur justru tak memuaskan hati mereka. Merantau tetap dipilih untuk melanjutkan kehidupan. Pasar Keputran, Surabaya, terpilih sebagai singgahan mereka.
Marta Nurfaidah
Surabaya
Selasa siang (8/1), sekitar pukul 13.00 WIB. Pasar Keputran Surabaya sudah menunjukkan geliatnya. Terutama di bagian dalam pasar yang bertingkat dua itu. Meski dikenal sebagai pasar malam hari, namun penjual bawang putih dan jeruk nipis sudah bersiap-siap.
“Minggir! Minggir! Ono barang liwat! (ada barang lewat!),” teriak seorang laki-laki. Langkahnya setengah berlari. Pundaknya terbebani karung plastik warna putih.
Sekilas, tercium bau bawang menyengat. Mengulik hidung segera bersin. Rupanya, laki-laki bertubuh besar dan tegap itu kebagian tugas membawa berkilo-kilo bawang putih dari mobil pick up ke dalam pasar. Mendatangi tiap pemiliknya.
Bau bawang dan selokan yang penuh sampah menambah tak sedap aroma di lantai satu Pasar Keputran. Semakin melangkah ke sisi dalam, semakin tercium bau busuknya. Onggokan sampah tampak dimana-mana. Di jalan masuk pasar, pojok stan-stan pedagang, serta anak tangga menuju lantai dua.
Kulit bawang putih, plastik pembungkus, tanah becek akibat buangan air pencuci jeruk nipis, sisa makanan, bercampur jadi satu. Kotor sekali. Menjadi tempat pesta kucing-kucing liar yang butuh makanan.
Kondisi itu tak dihiraukan penghuni pasar. Semua tetap melakukan tugas rutin yang sudah bertahun-tahun digelutinya. Sampah adalah bagian dari kehidupan mereka.
Dari anak tangga, tampak stan-stan bekas toko terbuat dari kayu. Berbagai jenis pakaian digantung pada kabel yang diregangkan di salah satu sisi stan. Atau pada beberapa paku yang tertancap.
Sedikit beranjak dari anak tangga, terlihat peralatan dapur bertumpukan di meja kecil depan pintu stan. Ibu-ibu duduk di bangku. Ada yang mengenakan sarung, ada juga yang bercelana tiga perempat dengan dandanan menor. Mereka bercakap-cakap dalam bahasa Madura. Beberapa anak kecil mengendarai sepeda, berputar-putar di antara mereka.
Melangkah lebih ke dalam lagi, di antara jajaran stan, terdapat ruang luas. Pada bagian tengah terdapat warung-warung berjajar. Tiap meja menawarkan berbagai menu masakan. Orang-orang berkumpul di sana. Tiduran sambil bercanda atau sekadar cangkruk menyeruput minuman kopi yang masih panas.
Inilah perkampungan kecil komunitas Madura dan Jawa yang ada di lantai dua Pasar Keputran Surabaya. Mayoritas etnis Madura, pengungsi dari Sampit, Kalimantan Tengah. Di antara stan-stan itu, terdapat rumah kos Matdu’i. Lelaki keturunan etnis Madura yang mengaku sebagai seorang waria.
“Iki omahku (ini rumahku). Sempit. Tapi sik iso gawe turu (Tapi masih bisa untuk tidur),” ucapnya sembari melepas sandal merahnya yang sudah robek di sana-sini saat masuk rumah kos.
Terhitung, sudah tujuh tahun dia tinggal di rumah kos berukuran 2x3 meter itu. Untuk menghibur diri, dindingnya ditempeli berbagai poster artis. Mulai dari aktor pemain film My Heart Irwinsyah, kelompok musik Ungu, Veri dan Mawar AFI, hingga Radja.
Sebuah televisi berukuran 15 inci mengisi lemari yang berfungsi ganda sebagai meja. Matdu’i berusaha menata kamar kecil bekas stan toko itu senyaman mungkin. Dari tidak layak ditempati hingga membuat kerasan penghuninya.
Berbagai jenis make up mengisi wadah plastik bulat di pojok ruang, bersebelahan dengan tempat obat nyamuk bakar. Lipstik dan bedak Spalding termasuk di dalamnya. Memang kurang cocok kalau Spalding dipakai untuk bedak wajah. Tapi, Matdu’i tak peduli. Asal buat wajah terasa segar, itu sudah cukup.
Kamar Matdu’i hanya ditempati kala hari sudah malam. Selebihnya, laki-laki kelahiran 1972 itu berada di warung makan, usahanya untuk memperoleh penghasilan bulanan. Ketika ditanya kapan dia lahir, Mat’dui menjawab apa adanya.
“Aku lali tanggal lairku. Disimpen emak kabeh. Saiki emak wis gak onok, mati (aku lupa tanggal lahirku. Disimpan ibu semua. Sekarang ibu sudah tidak ada, meninggal),” tuturnya.
Senyumnya terus mengembang. Ketika berkata, kepalanya digerakkan ke kiri dan kanan. Tangannya sibuk memegang segala barang yang ada di dekatnya.
Matdu’i adalah salah seorang dari ribuan etnis Madura yang mengungsi dari Sampit. Hanya tujuh hari, dia berada di lokasi penampungan di Sampang, Madura. Keinginan mencari nafkah sendiri begitu kuat, membuatnya merantau ke Surabaya. Menjadi salah satu penghuni kampung kecil lantai dua Pasar Keputran. (bersambung)
Sabtu, 12 Januari 2008
* Kehidupan Pengungsi Sampit di Pasar Keputran (2)
Tak Betah Makan Ketela Pohon, Pindah ke Surabaya
Kerusuhan di Sampit, Kalimantan Tengah, dipandang sebagai tindakan kejam dan sadis. Pengalaman Matdu’i menggambarkan bagaimana tersudutnya posisi mereka saat itu. Namun, jalan hidup Matdu’i mengharuskan dia bertemu kembali dengan sanak saudaranya di Sampang, Jawa Timur.
Marta Nurfaidah
Surabaya
Kamis siang. Sekitar pukul 14.00 WIB. Seorang teman berteriak.
“Mat, lari Mat! Orang Dayak sudah datang!”
Suara si teman itu terdengar keras. Mengagetkan Matdu’i yang sibuk masak di dapur. Penggorengan panas di atas kompor ditinggal Matdu’i begitu saja. Hanya satu yang terpikir oleh Matdu’i. Lari secepatnya menuju sungai di belakang rumah pengungsian.
Waktu itu, Matdu’i berada di kantor Kecamatan Pasar Kuala dialihfungsikan sebagai tempat penampungan orang Madura selama konflik terjadi di Kalimantan Tengah. Matdu’i tahu tempat itu berkat informasi teman-teman Dayak yang baik hati.
Matdu’i tidak sendirian ketika melarikan diri. Tiga orang teman sesama etnis Madura mengikutinya di belakang. Samar-samar terdengar suara pasukan Dayak meneriakkan sesumbar peperangan. Tanda jarak di antara mereka semakin dekat. Tombak menghunus di tangan. Seperti mencium mangsanya, mereka mengejar Matdu’i dan teman-temannya.
Lincah menyusuri sungai, sampailah Matdu’i dan temannya di hutan. Membuatnya selamat dari kejaran orang Dayak. Duri dan cabang pohon yang menggores kulit tak dihiraukan. Perih. Tapi, Matdu’i tak ingin meninggal di tangan orang Dayak.
Lari beberapa kilometer membuatnya lelah. Kadang, mereka berhenti sejenak. Mengistirahatkan badan. Hingga tiba sebuah kapal feri yang datang menyelamatkan mereka. Menuju Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur.
“Ada 250 orang yang ada di atas kapal. Saya dan teman-teman adalah pengungsi terakhir dari kawasan Kuala Pambuang, dekat Kecamatan Pasar Kuala,” kenang Matdu’i.
Niat pulang ke kampung tempat orangtua dan saudara tinggal di Desa Bandaran Jaya, Bepinang Hilir, Buluhan Naot, Sampit, urung dilakukan. Uang Rp 200.000 yang ditawarkan Matdu’i dan teman-temannya ke pengemudi kapal pun tidak digubris. Tidak ada yang berani mendekat desa itu. Pertikaian berlangsung sengit di sana. Etnis Dayak sudah menguasai Sampit.
“Saya lupa hari apa itu. Pokoknya bulan Ruwah menurut orang Madura. Uang yang ada di kantong celana saat itu hanya Rp 85.000,” kenang Matdu’i.
Ketika berada di Kuala Pambuang, Kalimantan Tengah, Matdu’i bekerja sebagai pengasuh kantin di sebuah pabrik kayu.
Dia tidak tahu menahu tentang apa sebenarnya yang terjadi di Sampit sejak 18 Februari hingga pertengahan April 2001 itu. Kabar yang terdengar, orang Dayak membunuh banyak orang Madura. Pencarian etnis Madura dilakukan dimana-mana, merata di seluruh Kalimantan Tengah. Puncaknya pada 20-23 Februari 2001.
Matdu’i terlahir sebagai anak ketujuh dari 13 bersaudara. Namun, hanya delapan orang yang hidup. Kedua orangtunya berasal dari Sampang dan menikah di sana. Waktu berada di Sampit, orangtuanya tinggal bersama anak, menantu, dan cucu.
Sebagai waria, penampilan Matdu’i sederhana. Warna kaus dan celana jinsnya sudah pudar. Rambut sebahu ditata seadanya. Bagian tengah diikat menjadi satu di belakang. Wajah pun minim make up. Cuma bedak dan pelembap bibir yang menempel di wajahnya. Sikap warianya terlihat dari lambaian tangan dan gerak tubuhnya ketika berbicara. Mirip perempuan meski berwujud lelaki.
Matdu’i merupakan sosok yang mandiri. Meski dia menjalani kehidupan cross gender. Saat konflik, Matdu’i terpisah dari keluarga. Dia tengah mengadu nasib di Kuala Pambuang. Jarak rumah dan tempat bekerja lumayan jauh. Empat jam lewat jalur darat dan sehari penuh lewat jalur laut.
Keluarga Matdu’i sampai terlebih dahulu di Sampang. Terhitung, setengah bulan lamanya sebelum Matdu’i sampai. Pada rentang waktu itu, keluarganya sudah menggelar Tahlilan. Dikiranya, Matdu’i sudah meninggal dunia.
“Saya dipikir meninggal, tidak selamat dari orang Dayak. Sampai ibu saya sakit. Tapi, begitu saya datang, ibu langsung bangun dan mampu duduk,” ujar Matdu’i.
Sebagai anak yang memiliki perilaku berbeda dengan saudara lainnya, Matdu’i menjadi anak kesayangan ibunya.
Kini, Matdu’i mencoba mencari peruntungan di Surabaya. Tidak pernah terbersit keinginan kembali ke Sampit. “Seorang teman yang melarikan diri dari Kuala Pambuang dan kakak saya sempat balik ke Sampit. Tapi akhirnya mereka juga mati oleh orang Dayak,” ungkap Matdu’i. (bersambung)
Senin, 14 Januari 2008
* Kehidupan Pengungsi Sampit di Pasar Keputran (3)
Anak Istri Tidur di Lantai, Suami di Atas Meja
Mengulang sejarah kelam, pertikaian di Sampit, Kalimantan Tengah, lebih disebabkan adanya konflik etnis belaka. Muatan politik sempat tercium. Apapun itu penyebab utamanya, kehidupan antar etnis di Indonesia belum seterbuka yang diharapkan.
Marta Nurfaidah
Surabaya
Selasa, 20 Februari 2001. Puncak pertikaian antara etnis Dayak dan etnis Madura.
Disulut perselisihan dua keluarga dari etnis berbeda, menjalar menjadi sebuah peristiwa pembunuhan besar. Semula terpusat di ibukota provinsi, Sampit, lalu menyebar hampir di seluruh kawasan provinsi.
Claire Q Smith PhD, Kandidat Development Studies Institute di London School of Economics and Political Science, menerangkan dalam papernya bahwa tidak jelas berapa jumlah orang yang meninggal akibat konflik dua etnis selama 18 Februari hingga pertengahan April 2001 tersebut. Bahkan masih terjadi sampai setahun berikutnya.
Paper Claire berjudul The Roots of Violence and Prospects for Reconciliation, A Case Study of Ethnic Conflict in Central Kalimantan, Indonesia (Akar Kekerasan dan Prospek melakukan Rekonsiliasi, Studi Kasus Konflik Etnik di Kalimantan Tengah, Indonesia).
Sumber resmi menyatakan 431 orang Madura meninggal dunia. Sumber tidak resmi melaporkan sekitar 1.500-3.000 orang Madura meninggal. Peristiwa ini sendiri seperti 'lanjutan' dari penyerangan etnik Madura yang terjadi di Kalimantan Barat, pada 1996-1997 dan 1999.
Sebelum orang Dayak dari pedalaman berdatangan ke Sampit, etnis Madura sempat menguasai kota. Tercatat, saat itu tanggal 19 Februari 2001. Mereka bergerombol menggunakan motor sambil membawa jeriken berisi bensin. Sembari beraksi di jalanan, mereka sesumbar ‘Jadikan Sampit sebagai Sampang kedua!’. Pembakaran dan pembunuhan terjadi dimana-mana.
Tanpa disadari puluhan orang Dayak menyusup ke semua sisi Kota Sampit. Mereka melakukan tindakan balasan. Tidak kenal ampun, orang Dayak yang digambarkan sebagai pasukan penyerang itu membunuh orang Madura secara sadis. Bersenjatakan mandau (senjata tradisional Dayak, sejenis parang), sebagian besar langsung menebas leher korban yang ditemuinya.
Selasa, 8 Januari 2008, tujuh tahun sejak kejadian brutal di Sampit. Dua ribu mil dari tempat pembantaian. Matdu’i menuturkan apa yang dirasakan dan dialami sepanjang peristiwa itu.
“Orang Dayak baik hati memberi saya tempat pengungsian dan memberitahu waktu pasukan Dayak yang kejam datang,” ungkap Matdu’i.
Orang Dayak sendiri terpecah, ada yang baik hati, ada juga yang jahat. Orang Madura yang bisa bertahan berminggu-minggu bersembunyi di hutan, tak lepas dari bantuan orang Dayak yang baik hati.
Semua kenangan dituturkan Matdu’i sambil duduk santai di atas meja kayu. Meja itu merupakan bagian dari warung milik sesama orang Madura yang mengungsi dari Sampit.
“Ini warung miliknya orang Sampitan juga,” ucap Matdu’i. Sampitan adalah sebutan orang Madura yang pernah tinggal di Sampit.
“Buk, bangun buk!” teriak Matdu’i. Dipukul-pukulnya sebuah meja yang ukurannyA lebih besar daripada yang diduduki Matdu’i. Bong, bong, bong! Suaranya mengusik tidur nyenyak si buk (panggilan ibu pada orang Madura).
“Ape (Apa), Mat!” sahutan terdengar dari bawah meja.
Selembar kayu triplek yang menutup celah di salah satu sisi meja terbuka. Sebuah kepala melongok keluar. Seorang perempuan berselimut sarung dan baju kumal keluar. Rambutnya kusut. Tangannya menarik sarung yang membalut tubuhnya lebih erat lagi.
“Maseh tedong, Mat! Arah apah? (Masih tidur, Mat! Ada apa?)” tanya si buk.
Meja tak berfungsi sebagai meja semata. Meja bisa dijadikan tempat tidur bagi komunitas Madura yang tinggal di lantai dua Pasar Keputran. Di dalamnya, kasur atau busa yang sudah melesak digelar. Supaya lebih hangat dan tidak terkena lantai pasar yang berdebu, kardus bekas ditata di bagian bawahnya.
Anak-anak dan ibu-ibu biasa tidur di sana. Sementara kaum laki-laki kebanyakan memakai bagian atas meja. Tidur berganjal bantal di kepala dan berselimut sarung. Atau tidak sama sekali. Udara dingin di malam hari tak menjadi kendala. Mereka tetap bisa tidur nyenyak sembari merangkai mimpi. Berharap esok ada pekerjaan yang bisa dilakukan. Entah mengupas kulit bawang putih atau mencuci jeruk nipis. (bersambung)
Selasa, 15 Januari 2008
* Kehidupan Pengungsi Sampit di Pasar Keputran Surabaya (4)
Terbiasa Bau Tak Sedap dan Bawang Putih Menyengat
Rasa kekeluargaan yang tinggi dimiliki oleh komunitas Madura dimanapun berada. Jika satu orang tertimpa kesusahan, yang lain akan menolong. Penghuni Pasar Keputran saling membantu untuk dapat bertahan hidup.
Marta Nurfaidah
Surabaya
Selasa (8/1) siang. Perempuan bernama Sa’diyah yang dibangunkan Matdu’i, beranjak ke kamar mandi umum di sebelah Utara lantai dua Pasar Keputran. Ajakan Matdu’i untuk ngobrol bareng ditolak.
“Mandi dulu,” katanya seraya mengambil handuk dan peralatan mandi.
Matdu’i menjawab dengan anggukan kepala. Lalu, cerita bergulir lagi.
“Saya dulu ingin ke Malaysia, ingin seperti kakak yang pergi ke Arab Saudi. Tapi, tidak jadi karena orang yang ajak sudah berangkat terlebih dulu. Makanya, saya ke sini,” ucap Matdu’i. Hanya delapan hari dia tinggal di tempat pengungsian di Sampang, Madura sebelum pindah ke Surabaya.
Matdu’i meninggalkan saudara dan ayahnya. Keinginan keluarga mendirikan sebuah rumah pupus di Sampang. Tidak ada uang untuk mewujudkannya. Harta keluarga itu hilang bersama ribuan orang Madura yang sudah beranak pinak puluhan tahun di Sampit.
Dulu, keluarga Matdu’i memiliki rumah panggung besar. Adiknya juga baru saja membangun rumah serupa di belakang rumah orangtuanya. Dua rumah berbahan kayu ulin itu hancur terbakar.
Begitu pula lima ekor sapi yang milik Matdu’i. Mati terbantai. Kesedihan mereka bertambah dengan terbunuhnya seorang bibi, yang tidak selamat, dari kejaran orang Dayak.
Sementara itu, untuk menyambung hidup, sekarang mereka bekerja sebagai buruh tani atau nelayan. Untuk makan, nasi jagung atau ketela menjadi menu andalan. Nasi sudah jarang mereka makan. Kalau ada jatah bantuan dari pemerintah saja baru bisa dinikmati. Sepuluh kilogram per kepala keluarga. Itu pun tidak rutin tiap minggu diterima.
Nasib Matdu’i sedikit lebih beruntung. Bersama orang Sampitan (sebutan orang Madura yang mengungsi dari Sampit) lainnya, Matdu’i tidur, mandi dan bekerja di lantai dua Pasar Keputran.
Tawaran seorang teman Madura yang membawanya kemari. Semula, Matdu’i bekerja sebagai koki di Gresik. Sesekali dia mencari hiburan di Taman Hiburan Rakyat Surabaya. Ketika itulah, Matdu’i mulai berani dandan sebagai perempuan.
Sebuah foto di etalase warungnya memperlihatkan gaya Matdu’i saat bersolek. Rambut palsu sebahu menutupi rambut keriting kakunya. Bedak putih tebal melapisi kulit sawo matangnya. Lipstik merah tua, eye liner hitam, dan bulu mata palsu menambah kesan ‘cantik’nya.
“Tapi sekarang saya sudah jarang dandan. Kalau ada kerjaan merias orang saja, baru pakai make-up,” ungkap Matdu’i. Percakapan terpotong, Matdu’i pamit mandi.
Kelar mandi, dia sibuk membersihkan warung kecilnya. Wadah-wadah kotor bekas memasak dan makan masih tergeletak di atas meja. Lalat berterbangan di atasnya. Matdu’i membawa wadah kotor itu di ujung anak tangga teratas.
Dengan cekatan, Matdu’i mulai menjerang air dalam panci di atas kompor, dan mencuci beras siap ditanak di dalam dandang. Air bekas cucian beras dibuang ke tumpukan wadah kotor di ujung tangga.
Sejenak dia pergi membeli tomat di lantai satu. Tomat merah itu hendak dibelah dan digoreng untuk bahan sambal penyetan, pasangan menu tetap warung Matdu’i. Yaitu nasi tempe, bandeng atau lele penyet.
Tersedia pula kopi, teh, es Extra Joss, dan berbagai jenis minuman instan. Berkat Sa’diyah, Matdu’i jadi mahir masak. Lebih pandai dari sebelumnya. Sa’diyah pula yang membantu mencari meja dan bangku untuk warungnya.
“Buk Sa’diyah itu tetangga saya. Bisa bertahan hidup di sini ya berkat dia,” katanya sambil menggoreng tomat. Lalu, Tomat yang sudah digoreng ditaruh di wadah plastik.
“Kalau sudah ada pembeli baru dibuat sambalnya,” jelas Matdu’i. Air bersih untuk memasak dan minum ditaruh dalam timba besar tertutup. Agar aman dari tangan jahil di malam hari, semua barangnya dimasukkan pada kotak kayu yang terkunci.
“Saya pernah kehilangan dandang dan panci,” ungkapnya. Tiga kompor kecil dibiarkan di luar. Bersama tempat cucian piring kotor.
Dari warung Matdu’i tercium bau tidak sedap dan kulit bawang putih yang menyengat. Bagi yang sudah terbiasa hidup di sana, bau itu tidak mengganggu nafsu makan. Namun, bagi yang tidak tinggal di sana, semoga bau sedap masakan Matdu’i masih mampu menimbulkan nafsu makan. Sebab, harus bersaing dengan bau tak sedap tadi. (bersambung)
Rabu, 16 Januari 2008
* Kehidupan Pengungsi Sampit di Pasar Keputran (5)
Menunggu Jatah Pemerintah, Bisa Mati Kelaparan
Berjualan makanan dan minuman di Pasar Keputran tidak mampu menutupi seluruh kebutuhan hidup Matdu’i. Berawal dari sekadar ikut teman, Matdu’i pun menambah pendapatan sebagai perias pengantin.
Marta Nurfaidah
Surabaya
Selasa (8/1). Beranjak sore.
Pendapatan yang diperoleh dari usaha warung kecilnya tak seberapa besar. Sehari sekitar Rp 10.000. Maka, dia memanfaatkan kesempatan ketika bersosialisasi dengan teman-temannya yang berprofesi sebagai perias pengantin. Berulangkali membantu mereka bekerja, muncul keinginan Matdu’i untuk mempelajarinya sendiri.
“Bisa lah lama-lama. Lumayan, menambah penghasilan,” kata Matdu’i.
Angin agak kencang sore itu, rambut sebahu Matdu’i pun diterpanya. Berulangkali tangan kirinya menyelipkan seuntai rambut di belakang daun telinga.
“Kapan hari anginnya kencang sekali. Sampai atap seng di sana terangkat semua,” ujar Matdu’i mengalihkan topik pembicaraan. Jari telunjuknya mengarah ke luar bangunan pasar. Dari lokasi yang terbuka, bisa dilihat beberapa atap toko di bagian belakang kompleks Pasar Keputran Surabaya.
Satu menit kemudian, Matdu’i bercerita lagi tentang pekerjaan barunya.
“Sekali rias, seharga Rp 3,5 juta. Harga itu sudah jadi satu dengan kuwade dan baju pengantin beberapa stel. Ini nih fotonya,” tutur Matdu’i.
Dua lembar foto berwarna yang menempel di etalase warung diambil. Keduanya berupa foto pengantin perempuan mengenakan baju pengantin ala Eropa. Make up-nya menyolok, rambut disanggul modern dan sebuah mahkota bertabur berlian tiruan tersemat. Satu diantaranya tampak sosok Matdu’i dalam dandanan ‘cantik’nya bersama si pengantin.
Selama Desember 2007 lalu, sudah lima pesta pernikahan di Madura yang menggunakan jasa Matdu’i dan teman-temannya. Tapi, memasuki area Madura, patokan tarif disesuaikan.
“Madura kan desa. Pesta berbiaya Rp 2,5 juta sudah terlihat mewah di sana. Paling mahal Rp 3,5 juta,” imbuh Matdu’i. Uang itu dibagi-bagi. Dia sendiri mendapat sekitar Rp 600.000 untuk rias pengantin.
Matdu’i memaparkan perbedaan perekonomian antara masyarakat yang hidup di Madura dengan penduduk Kota Surabaya.
“Orang di sana makannya ketela saja. Bisa beli beras sudah untung. Kecuali yang kaya, mereka ya nggak makan ketela, tapi makan nasi,” katanya.
Itu pula yang mendorong Matdu’i meninggalkan tanah leluhurnya. Sudah jadi bahan pembicaraan umum di Madura. Sebagian besar bantuan bagi pengungsi Sampit sampai ke orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
“Dimakan sendiri sama kepala desanya,” tukas Matdu’i tanpa ragu.
“Bantuan dari atasan ada. Begitu masuk ke Madura langsung diterima kepala desa. Lha, dari kepala desa ini kadang-kadang jatah untuk pengungsi tidak keluar,” sahut Ridho, anak laki-laki Sa’diyah. Dia duduk tak jauh dari Matdu’i berdiri. Sedari tadi dia diam mendengarkan Matdu’i berbicara.
Buktinya? “Soalnya kasihnya cuma sedikit,” tegas Ridho.
“Jatah beras dikasih separo saja. Ada yang dikasih, ada yang tidak. Berapapun jumlah anggota keluarga, semua dipukul rata, diberi beras 10 kilogram,” jelas Matdu’i.
“Terus nek gak dikeki, gak golek dewe, yok opo? Nek ngenteni pemerintah, yo mati kelaparen (Lalu kalau tidak diberi, tidak cari sendiri, bagaimana? Kalau menunggu pemerintah, ya mati kelaparan),” ujar Matdu’i dalam bahasa Jawa berdialek Madura.
Lagipula, dengan bekerja bisa mencari makan. Dengan makan, tubuh jadi kuat dan penyakit enggan mendekat.
Matdu’i sendiri menyimpan setiap receh uang yang diperolehnya. “Kalau sakit nanti bagaimana? Bisa-bisa mati dibuang kalau tidak punya uang,” kata Matdu’i.
Begitulah alasan mengapa dia harus menabung. Dia tidak ingin nasibnya seperti orang yang meninggal di tengah ketidakberuntungan hidup.
Ridho mengangguk membenarkan tiap perkataan Matdu’i. Kesepuluh jemarinya mulai memainkan senar gitar yang dibawanya. Lirik lagu Munajat Cinta milik The Rock, kelompok musik Ahmad Dhani yang baru selain Dewa, digumamkan perlahan.
Matdu’i melanjutkan kisahnya. Ketika ibu meninggal dunia, dia diberi pesan supaya menjaga adik bungsunya. Sebab, hanya dia yang bisa bekerja layak dan mencari uang dibanding saudara-saudara lainnya. Maka, dia selalu mendisiplinkan diri untuk menabung. Sebagai simpanan di masa sulit.
Hidup di Surabaya juga tidak murah. Biaya rumah kosnya Rp 1 juta per tahun. Tapi uang itu diberikan kepada si pemilik stan, bukan kepada PD Pasar Surya, pengelola pasar milik Pemkot Surabaya. Selain itu, beberapa rupiah disisihkan untuk isi pulsa dua ponsel yang dimilikinya.
Matdu’i ditemani seorang sepupu perempuan bersama anaknya yang masih balita. Suaminya sedang merantau ke Jakarta. Mereka tidak serumah dengannya. Tidak sopan kalau bersama, mengutip kata Matdu’i. Tiap hari, saudaranya ini bekerja di lantai satu Pasar Keputran. Jelang pukul 21.00 WIB, barulah si saudara itu pulang ke lantai dua.
Namun, keinginan mengubah nasib masih kuat dalam diri Matdu’i. Malaysia tetap jadi tujuan utamanya. “Jadi apa saja bisa. Tukang bangunan atau apa,” ungkapnya.
“Kalau badan dan kekuatan tidak menunjang, ya dikuat-kuatkan,” selorohnya.
Ridho menimpali,”yang penting kan niatnya.” (bersambung)
Kamis, 17 Januari 2008
* Kehidupan Pengungsi Sampit di Pasar Keputran (6)
Pikiran Masiroh Hanya Satu, Selamatkan Kelima Anaknya
Kehidupan tidak selalu berjalan mulus. Masiroh, pengungsi teman Matdu’i, telah kehilangan suami dan sempat berpisah dengan dua anaknya. Babak baru dalam hidup kini dijalaninya. Mengais rejeki di Pasar Keputran.
Marta Nurfaidah
Surabaya
Hari Rabu (9/1). Seperti hari-hari biasa, perempuan-perempuan Madura bersantai di antara meja tempat berjualan jeruk nipis dan empon-empon, bumbu masak seperti jahe, kunyit, dan lengkuas.
Matdu’i menyapa seorang perempuan yang duduk agak berjauhan dari tempatnya berdiri. Masiroh namanya. Dia mengenakan baju biru dan sarung, selembar kain motif menutup sebagian kepalanya, terikat ke belakang. Kulitnya kuning langsat.
“Arah apah, Mat! (Ada apa, Mat!),” kata Masiroh.
Matdu’i meminta Masiroh untuk bercerita bagaimana pengalamannya ketika menyelamatkan diri dari Sampit menuju Sampang, Madura, pada tahun 2001. Masiroh menggelengkan kepala. Keberatan karena tidak dapat berbahasa Indonesia. Masiroh baru mau bercerita begitu Matdu’i menawarkan diri sebagai penerjemah.
Percakapan berlangsung di warung kecil Matdu’i. Masiroh duduk di bangku panjang. Tiga perempuan yang sedang tidur di atas meja, belakang Masiroh duduk, terbangun. Nada bicara Matdu’i dan Masiroh yang nyaring menganggu ketenangan mereka.
Selama di Sampit, Masiroh ikut suami yang berprofesi sebagai pencari rotan, dan dia menanam ketela. Saat terjadi kerusuhan, Masiroh berlari meninggalkan Desa Termiling, Sampit, bersama tujuh anaknya. Mereka menuju hutan. Anak paling besar berusia tujuh tahun. Paling kecil berumur enam bulan. “Yang besar lari sendiri, yang masih bayi saya gendong,” katanya.
Orang Dayak, tetangganya, ikut mengejar pula. Masiroh lari terbirit-birit bersama anak-anaknya. Masuk ke dalam hutan. Saat itulah, dua anaknya lepas dari pengawasan. Mereka terpisah.
Ketika lari ke arah hutan, suami Masiroh terkena sabetan mandau orang Dayak. Posisinya tak jauh dari Masiroh. Melihat kejadian itu, Masiroh semakin mempercepat langkahnya. Sempat dia menoleh ke belakang, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya.
“Ye entana takok engkok mateh kiyah (ya, nanti kalau bertanya, juga akan mati),” sanggah Masiroh.
“De’rema jek tang lakeh tekukung mateh de’iye (Saya melihat suami jatuh tertelungkup mati),” ungkapMasiroh.
Cara bertuturnya tenang. Tak terbersit kesedihan. Hanya bola matanya yang bergerak kesana kemari mengikuti goyangan kepala ketika bicara.
“Ye buruh ji ye delem rimba (ya saya tetap lari ke dalam hutan),” lanjutnya.
“Sabek ke lem ring ruwa, jek lak gelem mateh. I antengin ulin ruwa (Dia dimasukkan ke dalam air, karena belum mati. Tubuhnya diberi kayu ulin sebagai pemberat),” terang Masiroh.
Masiroh tetap harus berjalan. Meski sedih, tapi tak ada air mata. Pikirannya hanya satu, mencari keselamatan untuk dirinya sendiri dan kelima anaknya. Meski, dua anak yang terpisah belum diketahui nasibnya.
Masiroh dan puluhan orang Madura tinggal di hutan sementara waktu. Hutan dianggap sebagai tempat aman kala itu. Tujuh hari lamanya di sana. Tapi, mereka harus bergerak terus. Kadang mereka keluar dari persembunyian, mencari jalan menuju lokasi pengungsian. Sembari hati-hati sepanjang jalan, agar tidak ketahuan orang Dayak.
Tapi, apes. Mereka bertemu lagi dengan orang Dayak. Tak ada jalan lain kecuali berlari sekuat tenaga ke dalam hutan lagi.
“Buru ke lem hutan, petong are keluar ketemu ben reng Dayak (Tujuh hari setelah lari lagi ke dalam hutan, bertemu dengan orang Dayak),” ujar sambil menyelipkan bahasa Indonesia dalam kalimatnya.
Kebetulan, mereka adalah orang Dayak yang baik hati yang mau memberi nasi dan air minum. Perjalanan masih berlanjut. Hingga terlihat jalan raya dan kerumunan orang. Di sekitar mereka, truk-truk bergantian membawa mereka.
Ternyata tempat yang ramai itu adalah lokasi pengungsian. Menginap sehari di pengungsian, Masiroh lalu turut berlayar dengan kapal laut yang membawanya ke Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Hingga tibalah dia di kamp pengungsi, Sampang, Madura. (bersambung)
Jumat, 18 Januari 2008
* Kehidupan Pengungsi Sampit di Pasar Keputran(7-Habis)
Pengungsi Sampit Tidak Bisa Diusir Begitu Saja
Fungsi pasar sebagai tempat jual beli tergeser dengan adanya pengungsi dari Sampit, Kalimantan Tengah. Namun, PD Pasar Surya sendiri masih bingung mengambil langkah untuk mengembalikan lagi fungsi pasar sebenarnya.
Marta Nurfaidah
Surabaya
Percakapan di warung kecil Matdu’i masih berlanjut.
Marsiroh berhasil mengungsi dari Sampit menuju Surabaya bersama lima anaknya. Dua anak lainnya masih terpisah. Masiroh tak sempat mencari mereka.
“Kami baru bertemu lagi di Sampang. Tak ada suami tidak apa-apa, asal anak ketemu,” katanya seperti yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Matdu’i.
Sementara itu, di luar panas matahari semakin terasa. Satu per satu perempuan Madura yang tidur di dekat warung Matdu’i terbangun. Kucel sekali penampilannya. Penasaran, mereka mendekat ke arah Matdu’i dan Masiroh duduk. Teman yang melewati mereka menuju kamar mandi umum, menyeletuk, menggoda Masiroh.
“Saiki Marsiye kawin maneh (sekarang Marsiroh menikah lagi),” seloroh Nur. Nama Marsiroh dilafalkan berbeda oleh orang Madura, menjadi Marsiye. Si pemilik nama menundukkan kepala sambil tersenyum. Kemudian dia mengangguk, membenarkan ucapan Nur.
“Ya, saya menikah lagi. Suami tinggal di Sampang, bertani. Anak-anak juga tinggal di sana, dirawat sama nini-nya (neneknya),” imbuhnya.
Jauh dari keluarga, Masiroh bekerja mreteli (memisahkan) bawang putih. Sehari, dia mendapat penghasilan Rp 3.000-Rp 5.000. Hitungannya, satu kilo seharga Rp 300.
“Itu juga kalau dapat pekerjaan,” ujarnya.
Tentu saja, penghasilan Masiroh tidak bisa menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Setiap kali mandi, buang air kecil, atau buang air besar bayar Rp 500. Beli nasi Rp 3.000, tambah ayam jadi Rp 4.000.
Meski demikian, Masiroh tidak kapok. Daripada tinggal di Sampang tidak ada kerjaan, lebih baik tinggal di Pasar Keputran. Tidur di sembarang tempat tidak menjadi masalah. Bisa di atas atau kolong meja yang kosong.
Tiba-tiba, beberapa orang berjalan terburu-buru mengarah ke warung Matdu’i. Mereka segera mengambil tongkat panjang yang disandarkan di salah satu tiang bangunan. Di belakang mereka berjalan petugas PD Pasar Surya. Wajah berkumis tanpa senyum itu terlihat garang. Tangan kanannya membawa sebatang bambu sepanjang dua meter. Salah satu ujung dipasang besi.
Batang bambu itu disodok-sodok ke atas. Berusaha mengambil pakaian yang tergantung di langit-langit lantai dua. “Ayo, dukno! (turunkan!)” teriaknya kepada beberapa orang.
Masiroh pun ikut pergi. Dia segera mengambil pakaiannya yang tergantung pada seutas tali yang terbentang. Letaknya tidak terlalu tinggi sehingga tangannya masih bisa menjangkau.
“Obrakan cucian atau baju digantung itu rutin dilakukan petugas,” terang Matdu’i.
Tak ada yang bisa dilakukan PD Pasar Surya selain penertiban dan pembersihan lingkungan komunitas pengungsi Sampit di Pasar Keputran.
Direktur Pembinaan Pedagang PD Pasar Surya Fatma Irawati Malaka, yang akrab dipanggil Etik, mengatakan, selain merapikan baju tergantung, kadang petugas juga operasi kompor.
“Tiap kamar dicek, apa masih ada api kompor yang menyala. Kalau lengah dan terjadi kebakaran, bagaimana? Bisa habis seluruh bangunan pasar,” tukas Etik.
Awal 2008, PD Pasar Surya menggelar kerja bakti. Toko-toko yang ditinggalkan pedagangnya dibersihkan dan harus dikosongkan. PD Pasar Surya jalin kerjasama dengan Dinas Sosial dan Dispol PP. Tapi, membersihkan lantai dua itu tak mudah.
“Orang Madura sudah lama berada di sana. Sebagian besar berdagang. Nah, waktu pengungsi Sampit sampai di Jatim pada 2001, komunitasnya semakin bertambah,” jelas Etik.
Atas ajakan saudara, teman, atau tetangga, pengungsi Sampit sampai di Pasar Keputran. “Rasa kekeluargaan mereka kental sekali,” tegas Etik.
Saat ini sekitar 70 kepala keluarga tinggal di sana. Rata-rata satu kepala keluarga terdiri dari tiga hingga empat orang. Jumlah ini berkurang dibanding pada 2001-2002. Transaksi sewa rumah dengan pedagang pemilik toko, yang sekarang dimanfaatkan sebagai rumah kos, dilakukan di luar campur tangan PD Pasar Surya. Sayangnya, transaksi itu tidak dilengkapi dengan tanda bukti atau kuitansi. Jadi posisi pengungsi Sampit sendiri lemah. Bisa terusir setiap saat.
“Tapi, kami tidak bisa mengusir mereka begitu saja. Ini berkenaan dengan masalah sosial. Harus ada penyelesaian komprehensif,” kata Etik lebih lanjut.
Keinginan mengembalikan fungsi pasar sebagai tempat jual beli pedagang dan konsumen tetap ada. Sebab, bangunan pasar tidak dikonstruksikan sebagai tempat tinggal. Di samping, membuat beban PD Pasar Surya untuk pengawasan dan pengamanan lokasi bertambah dibanding pasar-pasar lainnya.
Terlepas dari itu, kerusuhan Sampit menyisakan kepedihan bagi semua pihak. Akibat peristiwa itu, sekitar 100.000 etnis Madura meninggalkan propinsi Kalimantan Tengah. Sebagian besar pulang ke Pulau Jawa.
Gerry van Klinken, Indonesianis asal Belanda, menulis bahwa 1,8 juta etnis Madura pernah tinggal di Kalimantan Tengah sebelum peristiwa Sampit. Sekarang, tersisa sekitar 45.000 jiwa saja yang tinggal di Pangkalanbun, sebelah Barat Sampit. Enam hingga tujuh persen etnis Madura lainnya ‘bersih’ karena peristiwa berdarah itu.* (tamat)