Berita Surabaya
Kisah Mantan Atlet Sepeda Peraih Emas di Sea Games, Kini Jadi Penarik Becak
Meski tercatat sebagai penyumbang medali emas untuk Indonesia di Sea Games 1979, jangan membayangkan Suharto hidup mewah dan memiliki rumah megah.
Penulis: Eben Haezer Panca | Editor: Rahadian Bagus Priambodo
SURYA.co.id|SURABAYA - Suharto (64) sumringah mendengar atlet angkat besi peraih medali pertama untuk Indonesia di Olimpiade 2016, Sri Wahyuni Agustina, mendapat janji bonus Rp 2 miliar.
Baginya, ini adalah wujud adanya apresiasi pemerintah terhadap para atlet yang telah mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.
Namun, kabar itu mau tidak mau juga membuatnya langsung membandingkan dengan kehidupan para atlet veteran termasuk dirinya yang saat ini hidup dalam serba terbatas.
Menurutnya, dulu, tidak pernah ada guyuran bonus melimpah dari pemerintah apabila seorang atlet berhasil berdiri di atas podium juara, dalam event internasional.
Suharto merupakan mantan atlet sepeda asal Surabaya yang kini berjuang melanjutkan hidup menjadi pengayuh becak.
Sehari-hari, antara pukul 6 pagi hingga pukul 6 sore dia mencari penumpang di kawasan Pasar Pegirian dan Pasar Kapasan.
Namun saat ditemui Surya, Rabu (10/8) siang, bapak tiga anak ini sudah berada di rumahnya di kawasan Jl Kebon Dalem VII, Surabaya.
Meski tercatat sebagai penyumbang medali emas untuk Indonesia di Sea Games 1979, namun jangan dulu membayangkan rumah Suharto megah.
Rumah yang ditinggalinya adalah sebuah rumah petak berukuran sekitar 12 meter persegi.
Untuk mencapai rumah tersebut, seseorang mesti melewati kampung sempit padat penduduk.
Saking padat dan sempitnya, warga setempat membuat kebijakan agar setiap pengendara sepeda motor turun dari kendaraan dan menuntunnya.
Rumah yang ditinggali Suharto sendiri tidak berada di tepi jalan. Rumah itu berada di dalam sebuah gang kecil yang tidak begitu terlihat dari jalan utama kampung.
Walau begitu, kalau orang mencari rumah Suharto, warga setempat pasti tahu.
Apalagi, nama Suharto tukang becak memang beberapa kali masuk media massa dan disebut-sebut sebagai orang yang pernah membanggakan negara.
Di rumah berdinding triplek itu, tidak banyak ruang untuk meletakkan berbagai jenis barang. Saking sempitnya, untuk bisa masuk ke dalam, kaki mesti hati-hati betul saat melangkah.
Sebab, di lantainya berserak berbagai barang dan keperluan sehari-hari seperti pakaian, kipas angin, kotak-kotak makanan, sangkar burung, hingga keranjang berisi telur.
“Ini telur untuk bahan bikin martabak. Kalau sore, istri saya memang juga jualan martabak di dekat sini,” ujar Suharto.
Hari itu Suharto memang pulang lebih awal dibanding biasanya.
Selain karena tidak banyak penumpang yang bisa diangkutnya hari itu, hernia yang semakin parah, memaksanya harus beristirahat lebih awal.
Sejak dua tahun belakangan, hernia di perutnya memang kian parah. Kalau pada 2011 silam penyakit itu hanya menyerang perut sebelah kanan, kini perut sisi kirinya juga ikut terserang.
Operasi yang pernah dia jalani, rupanya tidak banyak membantu menyembuhkannya.
Untuk menyiasati agar aktivitasnya tidak terlalu terganggu oleh penyakit itu, sehari-hari Suharto mengikat perutnya dengan karet ban yang diikat dengan dua balok kayu.
Dua balok kayu itulah yang menjadi alat untuk menyangga hernia di perutnya.
“Mau berobat ke dokter juga tidak ada uang. Penghasilan dari menarik becak sehari-hari ya cuma cukup buat makan,” katanya.
Banjir Prestasi
Perjuangan Suharto di dunia balap sepeda memang tidak pernah ringan. Untuk mewujudkan mimpi sebagai atlet profesional misalnya, Suharto muda terpaksa meminta bantuan dari kedua orangtuanya.
Seperangkat perhiasan serta dua unit sepeda motor terpaksa mereka jual agar Suharto memiliki sepeda yang andal. Sebuah sepeda balap mahal buatan Italia yang kala itu dijual di kawasan Jl Tunjungan, Surabaya.
Tetapi pengorbanan kedua orangtuanya tak sia-sia. Pada 1974, sepeda impian itu berhasil menjadikannya sebagai juara pada ajang Walikota Surabaya Cup.
Tidak tanggung-tanggung, Suharto yang selama masa remajanya tidak pernah mendapat training khusus dari pelatih sepeda, sanggup menyingkirkan atlet-atlet berpengalaman.
“Bangganya bukan main. Apalagi lawan-lawan yang dikalahkan adalah atlet-atlet TC,” kata pria yang pernah menolak tawaran melatih di Malaysia dengan dalih nasionalisme tersebut.
Sejak kemenangan di Walikota Surabaya Cup itulah Suharto dilirik oleh KONI. Dia pun diajak bergabung dalam Puslatda untuk mewakili Jawa Timur dalam berbagai event. Berikutnya, dia pun dipercaya mewakili Indonesia dalam berbagai event.
Beberapa prestasi yang pernah dia torehkan, antara lain dua medali perak dalam ajang Tour de Thailand pada 1976 serta 3 perak dan 3 perunggu di ajang Tour de Issi yang berlangsung di Sulawesi pada tahun yang sama.
Dia juga menyumbangkan dua medali emas, satu medali perak, serta dua medali perunggu untuk Jawa Timur pada ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) 1977 di Jakarta.
“Yang paling membanggakan saya adalah Sea Games 1979 di Kuala Lumpur karena berhasil menyumbang emas untuk Indonesia. Sebelumnya, tahun 1978 saya juga berhasil mendapat medali perunggu pada ajang open turnamen di China,” kenangnya.
Meski banjir prestasi, namun yang diperoleh Suharto hanyalah kebanggan semata. Tidak ada bonus dan jaminan hidup layak dari pemerintah di kala itu, menjadikan Suharto putus asa.
Usai Sea Games 1979, dia pun memutuskan untuk “mengandangkan” sepedanya. Dia tidak lagi berkiprah di arena balap.
Untuk menyambung hidup, Suharto pernah mencoba berbagai pekerjaan. Namun pada akhirnya hidupnya memang tidak bisa jauh dari pedal. Namun kali ini bukan lagi pedal sepeda, melainkan pedal becak.
Dari pekerjaan itu, dalam sehari dia mendapatkan uang rata-rata sebesar Rp 50.000. Kalau rezeki sedang melimpah, di akhir hari dia bisa membawa pulang uang Rp 100.000.
“Cukup tidak cukup, ya harus dicukup-cukupkan,” sebut bapak tiga anak itu.
Kecewa Pada Risma
Di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit, Suharto bukannya tidak punya rencana untuk membangun hidup yang lebih baik. Bahkan, dia pernah punya keinginan untuk membangun usaha sendiri.
Namun apa daya, penghasilan sehari-hari tidak pernah cukup untuk dijadikan modal.
Karena keterbatasan modal itulah, dua bulan silam dia pernah mengajukan pinjaman modal kepada Tri Rismaharini, Walikota Surabaya. Namun, permohonan peminjaman uang itu tidak pernah terkabul sampai kini.
“Ya sebenarnya kecewa juga sama bu Risma. Padahal sebagai eks atlet Porseni Korpri, saya juga pernah mengharumkan nama Surabaya.Lagipula, bantuan yang saya minta itu sifatnya pinjaman, bukan meminta uang. Jadi pasti akan saya angsur,” pungkas dia. (Surya/Eben Haezer Panca)
Baca update beritanya : Atlet Peraih Medali Emas yang Kini Jadi Penarik Becak, Akhirnya Ditawari Pindah ke Rusun