Ludruk Masuk Mal, Ajak PNS Sosialisasikan Progam Abah Anton
Kalau pemain adalah orang-orang awam pastilah tidak akan mendatangkan penonton seperti sekarang ini.
Penulis: Adrianus Adhi | Editor: Satwika Rumeksa
SURYA Online, MALANG – Pertunjukan ludruk umumnya ditampilkan di lapangan, atau dalam gedung seni. Selain lebih merakyat, durasi pertunjukkan ludruk yang berjam-jam menjadi alasan mengapa ditampilkan di lokasi tersebut.
Pandangan itu kini tak berlaku lagi. Dinas Komunikasi dan Informatika, Kota Malang, Sabtu (08/11/2014) malam, berhasil mendobraknya dengan menggelar pertunjukan ludruk berdurasi empat jam di lantai 3 Mall Olympic Garden (MOG).
Banyak pengunjung yang menikmati pertunjukan bertajuk ‘Kuncaraningrat Bertekad Bulat’ yang disutradarai oleh Soerjo Wido Minarto, salah satu pengajar di Universitas Negeri Malang (UM).
Salah satunya adalah Arinta (30). Karyawan swasta di bidang advertising ini mengaku kembali ke memori masa kecilnya, saat melihat tontonan tersebut. “Yang paling saya suka itu pas ngelawak-nya. Bahannya selalu saja ada,” kata Arinta.
Walau demikian, memori itu kini hanya bisa dilihat lewat layar televise saja. Baru saat ini ia melihat ludruk di panggung mini, seukuran 3 x 4 meter, lengkap dengan pemain musiknya. Yang menarik perhatiannya pula, para pemain ludruk itu tampil pede meski bermain dalam mall.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika, Tri Widiyani memaparkan pertunjukkan ini memang sengaja digelar untuk mempertahankan kesenian tradisional Jawa Timuran. Selain itu, pertunjukkan ini juga untuk mensosialisasikan progam pemerintah Kota Malang.
Sosialisasi itu juga tampak dari obrolan-obrolan sepanjang pertunjukan berlangsung. Misalnya saja, progam pendidikan gratis, bantuan dana untuk warga meninggal, yang semuanya terdapat dalam progam peduli wong Cilik dari pemerintahan Walikota Malang, M Anton.
Semua itu mereka kemas apik selama pertunjukkan yang mengedepankan polemic relokasi pasar di Kadipaten Kuncaraningrat.
“Kisah-kisah ini saya angkat berdasar kisah sehari-hari masyarakat,” kata Soerjo Wido Minarto, sutradara pertunjukan.
Sekedar diketahui, kisah ini menceritakan protes pedagang pada Kadipaten Kuncaraningrat yang mau merelokasi pasar. Raden Adipati Kyantan Muhammad, Adipati Kadepaten Kuncaraningrat waktu itu juga sempat di demo warga, tapi keputusan tetap berjalan.
Warga yang khawatir mata pencahariannya terancam lalu mendatangi Pesantren Sunan Kalijaga.
Pada jaman itu Sunan Kalijaga dianggap tokoh yang bijak, yang paling disegani oleh seluruh kelompok masyarakat dan pemerintah. Kebetulan Adipati Kyantan ketika itu tengah bertamu ke Sunan Kalijaga. Hasilnya pedagang sepakat relokasi itu demi kepentingan mereka sendiri.
“Pro dan kontra itu tetap ada di tiap keputusan pemerintah, walaupun keputusan itu menguntungkan dirinya sendiri,” kata pria yang biasa di sapa Cak Wido ini.
Menariknya lagi, para pemain dalam pertunjukkan ini bukanlah pemain ludruk biasa. Mereka adalah mahasiswa, pegawai negeri sipil, ustadz, bahkan kepala Dinas Pertamanan Kota Malang, Wasto juga ikut bermain di sana.
Usut punya usut, rupanya ini adalah salah satu cara mereka agar ludruk bisa disegani masyarakat. Mereka tampaknya paham kalau pemain adalah orang-orang awam pastilah tidak akan mendatangkan penonton seperti sekarang ini.
Walau begitu, ini tidak mudah dilakukan. Kata Cak WIdo, jadwal latihan sangat sempati. “Latihannya Cuma satu minggu, dan semua naskah ini kebanyak diimprovisasi sendiri,” paparnya.
Baca selengkapnya di Harian Surya edisi besok.
LIKE Facebook Page www.facebook.com/SURYAonline
FOLLOW www.twitter.com/portalSURYA